MATERI PENGELOLAAN KELAS
BAB I
PENGANTAR PERKULIAHAN
a. RASIONAL
Dalam suatu proses belajar mengajar terdapat dua
masalah yang turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar,
yaitu permasalahan pengelolaan (Management Problem) dan masalah pengajaran
(Instructional Problem), antara keduanya terdapat suatu korelasi yang tinggi.
Masalah pengajaran itu akan berhasil, dalam arti
tercapainya tujuan-tujuan instruksional, akan sangat tergantung pada masalah
pengelolaan. Artinya bilamana masalah pengelolaan kelas itu telah diatur
sedemikian rupa, sehingga dapat menciptakan atau mempertahankan kondisi yang
optimal yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar.
b. KEGIATAN MENGAJAR DAN MENGELOLA KELAS
Guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
menghadapi permasalahan dengan kegiatan-kegiatan didalam kelasnya. Permasalahan
ini meliputi dua jenis, yaitu yang menyangkut masalah pengajaran dan masalah
pengelolaan kelas. Seorang guru harus mampu membedakan kedua permasalahan
tersebut dan menemukan pemecahan secara tepat. Untuk lebih jelasnya dapat kita
bedakan kegiatan tersebut sebagai berikut :
- Kegiatan mengajar :
1.
Menelaah masalah
kebutuhan-kebutuhan siswa/mahasiswa.
2.
Menyusun rencana
pelajaran kepada siswa/mahasiswa.
3.
Menyajikan pelajaran
kepada siswa/mahasiswa.
4.
Mengajukan pertanyaan
kepada siswa/mahasiswa.
5.
Mengevaluasi kemajuan
siswa/mahasiswa.
- Kegiatan pengelolaan kelas, meliputi :
1.
Menciptakan dan
mempertahankan suasana (kondisi) kelas, agar kegiatan mengajar itu dapat
berlangsung secara efektif dan efisien.
2.
Memberikan ganjaran
dengan segera yang berbentuk penguat (reinforcement).
3.
Mengembangkna hubungan
yang baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa.
4.
Mengembangkan aturan
permainan didalam kelompok.
Dalam pelaksanaannya sering terjadi, guru-guru
menangani masalah yang bersifat pengelolaan kelas dengan pemecahan yang
bersifat pengajaran atau sebaliknya.
Contoh : seorang guru
berusaha membuat pelajaran lebih menarik agar siswa yang sering tidak masuk
menjadi tertarik untuk menghadiri pelajaran itu, padahal siswa tersebut tidak
senang berada di kelas itu, karena ia merasa tidak diterima oleh
teman-temannya.
Pemecahan seperti ini tentu saja tidak tepat, membuat
pelajaran lebih menarik adalah “permasalahan pengajaran” sedangkan
diterima atau tidak oleh teman-temannya adalah “permasalahan pengelolaan
kelas”. Jadi masalah pelajaran harus ditangani dengan permasalahan pengajaran
dan permasalahan pengelolaan kelas ditangani dengan masalah pengelolaan kelas.
Dalam kenyataan sehari-hari kedua jenis kegiatan itu
menyatu dalam kegiatan atau tingkah laku guru, sehingga sukar dibedakan. Namun
demikian, pembedaan seperti tertera diatas amatlah perlu, terutama apabila kita
ingin menanggulangi secara tepat permasalahan yang berkaitan dengan kelas.
Untuk lebih jelasnya kegiatan pengelolaan kelas ini
akan kita uraikan secara lebih rinci pada uraian berikut ini, sedangkan
kegiatan-kegiatan pengajaran akan lebih banyak diuraikan pada mata kuliah
Strategi Belajar Mengajar dan mata kuliah Proses Belajar Mengajar lainnya.
Untuk lebih mudahnya memahami kegiatan pengelolaan
kelas, maka dapat kita kemukakan diagram sebagai berikut : untuk lebih mudah
dilaksanakan dalam kelas. (lihat diagram dibawah ini).
KEGIATAN PENGELOLAAN KELAS
c. PENGERTIAN PENGELOLAAN KELAS
1. Pengelolaan kelas yang bersifat otoriter
Pandangan yang bersifat otoriter ini memandang bahwa pengelolaan kelas
sebagai proses untuk mengontrol tingkah laku siswa. Dalam kaitan ini tugas guru
adalah menciptakan dan memelihara ketertiban suasana kelas. Penggunaan disiplin
amat diutamakan, bermacam-macam cara yang digunakan oleh guru untuk
mengharuskan anak untuk belajar, baik disekolah maupun dirumah, dengan paksaan,
hukuman, bahkan dengan ancaman agar anak menguasai bahan pelajaran yang
dianggap perlu untuk ujian dan masa depannya.
Pada sikap otoriter, guru menggunakan kekuasaannya untuk mencapai tujuan
tanpa lebih jauh mempertimbangkan akibat bagi anak, khususnya bagi perkembangan
pribadinya. Secara lebih khusus dapat diberikan defenisi yang berbunyi :
pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan
mempertahankan ketertiban suasana kelas.
2. Pengelolaan kelas yang bersifat permisif
Pengelolaan kelas yang bersifat permisif adalah kebalikan dari sikap
otoriter. Pandangan ini menekankan, bahwa tugas guru adalah memaksimalkan
kebebasan siswa. Sikap ini membiarkan anak berkembang dengan sebebas-bebasnya
tanpa banyak tekanan dan larangan, perintah atau paksaan. Suasana belajar
hendaknya menyenangkan, guru tidak menonjolkan dirinya berada dilatarbelakangi
untuk memberikan bantuan bila diperlukan, yang diutamakan adalah perkembangan
pribadi anak khusus dalam aspek emosional agar ia bebas dari kegoncangan
jiwanya dan menjadi manusia yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dengan demikian defenisi kedua berbunyi,”pengelolaan kelas ialah seperangkat
seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa”.
Kedua pandangan tersebut diatas, baik otoriter maupun permisif mempunyai
sejumlah pengikut namun keduanya dianggap kurang efektif bahkan kurang
bertanggung jawab. Pandangan otoritatif adalah kurang manusiawi sedangkan
pandangan permisif kurang realistic.
3. Pengelolaan kelas yang bersifat behavioral modification
Bila guru mengajarkan suatu mata pelajaran ia tidak hanya mengutamakan mata
pelajaran, akan tetapi juga harus memperhatikan anak itu sendiri sebagai
manusia yang harus dikembangkan pribadinya.
Dalam kaitan ini pengelolaan kelas dipandang sebagai proses pengubahan
tingkah laku siswa, peranan guru adalah mengembangkan dan mengurangi atau
meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan, secara singkat guru membantu
siswa dalam mempelajari tingkah laku yang tepat melalui prinsip-prinsip yang
diambil dari teori-teori penguat (reinforcement), sehingga dapat
terpeliharanya keseimbangan intelektualnya dan perkembangan psikologis anak.
Defenisi yang didasarkan pengubahan tingkah laku ini berbunyi, ”pengelolaan
kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku siswa
yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak
diinginkan.
4. Pengelolaan kelas yang bersifat iklim sosio emosional
Pandangan ini mempunyai anggapan dasar, bahwa kegiatan belajar akan
berkembang secara maksimal didalam kelas yangh beriklim positif, yaitu suasana
hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan
siswa.
Untuk terciptanya suasana seperti ini, guru memegang peranan penting dalam
mengembangkan iklim sosio emosional kelas yang positif melalui penumbuhan
hubungan interpersonal yang sehat. Dalam kaitan ini defenisi keempat berbunyi,
“pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan
interpersonal yang baik dan iklim sosio emosional kelas yang positif.
5. Pengelolaan kelas yang bersifat proses kelompok
Pengelolaan kelas ini beranggapan dasar, bahwa pengajaran berlangsung dalam
kaitan kelas/kelompok, sekaligus merupakan sistim social dalam kelompok ini
merupakan intinya. Dengan demikian kehidupan kelas sebagai kelompok dipandang
mempunyai pengaruh yang amat berarti terhadap kegiatan belajar, meskipun
belajar dianggap sebagai proses individual.
Peranan guru adalah agar ia dapat memberikan motifasi kepada
siswa untuk dapat berkembang melalui kelas yang efektif. Defenisi kelima ini
berbunyi, “pengelolaan kelas ialah seperangkat kegitan guru untuk menumbuhkan
dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.
Ketiga pengelolaan terakhir tersebut diatas
masing-masing bertitik tolak dari dasar pandangan yang berbeda. Dari ketiga
pandangan itu , tidak satupun pernah dibuktikan sebagai pandangan yang terbaik,
oleh karena itu adalah bermanfaat apabila guru mampu membentuk suatu pandangan
yang bersifat pluralistic, yaitu pandangan yang merangkum ketiga bentuk
pengelolaan kelas, yaitu pandangan pengubahan tingkah laku, iklim sosio
emosional dan proses kelompok.
Yang dimaksud dengan pandangan pluralistic berbunyi,
“pengelolaan kelas adalah seperangkat kegiatan untuk mengembangkan hubungan
tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku
yang tidak diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosio
emosional yang positif serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas
yang efektif dan positif.
BAB II
PENGATURAN TEMPAT DUDUK DAN TATA RUANG
1. KONDISI SUBJEK DIDIK
Untuk mempelajari macam-macam pengaturan tempat duduk,
seorang guru harus terlebih dahulu memperhatikan kondisi individu dari subyek
didik, karena kondisi subyek didik ini merupakan factor yang paling menentukan
terhadap proses dan hasil belajarnya. Kondisi subyek didik dapat dibedakan :
a. Kondisi Fisik
Kondisi fisik seseorang yang sedang menurun seperti
sakit, kurang gizi, lelah, kondisi panca indera terutama penglihatan dan
pendengaran sangat mempengaruhi, mengganggu terhadap proses dan hasil belajar
seseorang.
Oleh karena itu seorang guru harus memperhatikan hal
ini semua, terutama sekali terhadap anak didik yang kurang penglihatan dan
pendengarannya, yaitu dengan meletakkan mereka pada tempat duduk yang sesuai
dengan keadaannya seperti anak yang kurang penglihatan dan pendengarannya
diletakkan didepan. Kalau ia tinggi disamping depan dan yang sedang ditengah
dan sebagainya, demikian pula terhadap anak yang sehat meletakkan mereka pada
tempat duduk yang sesuai pula dengan keadaan.
Terhadap anak yang nakal harus pula mendapat perhatian
yang khusus dari seorang guru, kalau memungkinkan ia diletakkan tempat duduk
dekat anak yang baik dan pintar, dan kalau juga ia tidak dapat baik, harus
diletakkan pada tempat duduk yang dapat dikuasai oleh guru sendiri.
b. Kondisi Psikologis
Disamping kondisi fisik, harus pula
diperhatikan oleh seorang guru kondisi psikologis seperti kecerdasan, perasaan,
kemauan, bakat, minat, perhatian, motivasi, tempo dan irama perkembangan dan
lain-lain sangat berpengaruh sekali terhadap proses dan hasil belajar dari pada
siswa.
- Kecerdasan
Tingkat kecerdasan harus mendapat perhatian oleh
seorang guru, seorang siswa harus ditempatkan pada kelas yang sesuai dengan
tingkat kecerdasannya atau kelas yang didudukinya. Untuk tiungkat kecerdasan
seseorang siswa ada baiknya kita pedomani rumus IQ dibawah ini :
Usia mental anak
Rumus IQ adalah : _____________________= IQ
Usia
sesungguhnya
Contoh : seperti anak usia empat tahun
4/3
x 100 = 133
1. Genius
diatas = 140
2. Sangat
super = 120
– 140
3. Super = 110
– 120
4. Normal = 90
– 110
5. Bodoh = 80
– 90
6. Perbatasan = 70
– 80
7. Dungu = 60
– 70
- Perasaan
Seorang guru harus juga memperhatikan perasaan seorang
siswanya terutama terhadap perasaan yang tidak menyenangkan siswa. Seorang guru
dituntut untuk dapat menciptakan dan mempertahankan hubungan interpersonal yang
harmonis antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa sehingga siswa senang dan
bergairah untuk belajar.
Perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan terutama yang
datang dari seorang guru maupun dari siswa itu sendiri.
- Bakat dan minat
Seorang guru dituntut untuk dapat memupuk bakat dan
minat dari siswa yaitu dengan menyalurkan apa yang menjadi bakat dan minat
siswa, sehingga bakat dan minat pada siswa itu berkembang sesuai dengan minat
atau keinginan daripada siswa itu sendiri.
- Perhatian
Kealpaan siswa harus mendapat perhatian dari seorang
guru. Kurangnya perhatian atau kelalaian seorang siswa mungkin banyak factor
penyebabnya, permasalahan keluarga, tidak atau kurang mendapat perhatian dari
orang tuanya, dari sesame teman, ataupun dari guru itu sendiri. Untuk itulah
seorang guru harus dapat mengembalikan perhatian dari siswanya, sehingga ia
giat belajar kembali.
- Motivasi
Seorang guru harus dapat memberikan dorongan atau
motivasi, agar siswanya memperoleh prestasi yang baik dalam belajar, termasuk
siswa yang kurang minat dan perhatiannya untuk belajar.
Seorang guru harus menjadi orang yang menyenangkan
siswanya yang selalu memberikan dorongan atau motivasi terhadap siswa dengan berbagai
cara, karena motivasi yang semacam ini sangat membantu siswa dalam belajar.
- Tempo dan Irama Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa tidak selalu sama, adakalanya di SD
pintar, di SMP dan SMA bodoh. Kadang-kadang di SD bodoh, di SMP pintar dan di
SMA bodoh, adalagi di SD pintar, SMP bodoh dan di SMA pintar, dan lain
sebagainya. Hal ini banyak sekali faktor penyebabnya, untuk itulah seorang guru
harus mengetahui dan mencari pemecahannya, sehingga seorang guru tidak bingung
menghadapinya dalam menemui keadaan semacam hal tersebut diatas. Tugas ini
semua adalah tugas seorang guru dalam pengelolaan kelas.
2. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI IKLIM BELAJAR MENGAJAR YANG SERASI
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar ada beberapa
factor iklim yang mempengaruhi, yaitu :
a. Faktor Lingkungan
Ada dua macam factor lingkungan, yaitu lingkungan alam
dan lingkungan social. Udara yang bersih, segar, akan memberi pengaruh yang
positif terhadap proses belajar dibandingkan dengan udara yang panas dan kotor,
begitu pula pada ruangan yang pengab atau di daerah yang gersang juga tidak
menggairahkan dan dapat menurunkan prestasi belajar.
Begitu juga mengenai lingkungan social, baik itu
orang, refresentasinya (photo, suara, karya) maupun hal-hal lain yang berhubungan
dengan kehidupan manusia seperti lalu lintas, pabrik dan sebagainya, semuanya
mempunyai pengaruh terhadap proses dan hasil belajar.
Dalam banyak hal pengaruhnya kurang menguntungkan,
itulah sebabnya untuk mendirikan gedung sekolah hendaknya harus jauh dari
keramaian, seperti tempat-tempat bekerja, pabrik, lalu lintas, jalan raya dan
sebagainya.
b. Faktor-faktor Instrumental
Sebaliknya, setelah kita memperhatikan factor
lingkungan, maka factor instrumental sengaja diadakan atau direncanakan, dengan
maksud memperlancar serta menunjang terjadinya proses belajar mengajar yang
mulus dan sesuai dengan yang diharapkan.
Factor-faktor itu berupa perangkat keras atau hardware
seperti gedung, laboratorium, perpustakaan dan sebagainya dan begitu pula
perangkat lunak (software) seperti misalnya buku-buku paket, kurikulum,
buku-buku panduan belajar dan sebagainya.
3. PENGATURAN RUANG BELAJAR
Agar tercipta suasana yang menggairahkan dalam
belajar, perlu diperhatikan pengaturan ruang belajar. Penyusunan dan pengaturan
ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk berkelompok dan memudahkan guru
bergerak secara leluasa untuk membantu siswa dalam belajar.
Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan :
- Ukuran dan bentuk kelas
- Bentuk serta ukuran bangku dan meja siswa
- Jumlah siswa didalam kelas
- Jumlah siswa didalam setiap kelompok
- Jumlah kelompok didalam kelas
- Komposisi siswa didalam
kelompok (seperti siswa pandai dengan siswa kurang pandai, pria dengan wanita)
4. PENGATURAN SISWA DALAM BELAJAR
Dalam belajar siswa melakukan beragam kegiatan
belajar, kegiatan belajar siswa disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa
itu sendiri. Ada siswa yang dapat belajar sendiri dan yang dapat belajar secara
kelompok, agar kegiatan-kegiatan yang diciptakan guru sesuai dengan kebutuhan
cara belajar siswa, diperlukan pengelompokan siswa dalam belajar.
Didalam penyusunan anggota kelompok, hal-hal yang
perlu diperhatikan antara lain :
- Kegitan belajar apa yang akan dilaksanakan
(individual, kelompok – klasikal)?
- Siapa yang menyusun anggota kelompok (
guru, siswa atau guru dan siswa)?
- Atas dasar apa kelompok itu disusun ?
- Apakaha kelompok itu tetap atau
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan cara belajar siswa ?
Bila hal-hal terswebut sudah diperhatikan dan
dilaknsanakan dengan cara yang paling baik berdasarkan
keuntungan-keuntungannya, maka siswa akan lebih bergairah dalam belajar. Dalam
pengaturan ruang belajar dan pengaturan siswa dalam belajar harus disesuaikan
dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk itu ada baiknya kita
perhatikan ilustrasi berikut ini (lihat pada halaman disebelah)
BAB III
MASALAH-MASALAH TINGKAH LAKU SISWA
Untuk dapat menangani masalah-masalah tingkah laku
siswa secara efektif, guru harus mampu :
a. Mengenali secara tepat berbagai jenis
masalah tingkah laku siswa, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok.
b. Memahami pendekatan mana yang cocok dan
tidak cocok untuk jenis masalah tertentu.
c. Memilih dan menetapkan pendekatan yang
paling tepat untuk memecahkan masalah yang dimaksud.
1. MASALAH PERORANGAN
Masalah perorangan ini timbul didasarkan atas adanya
suatu pencapaian dalam suatu tujuan. Setiap individu memiliki kebutuhan dasar
untuk memiliki rasa dirinya berharga dan berguna, jika seorang individu gagal
mengembangkan rasa memiliki dirinya berharga, maka ia akan bertingkah laku
menyimpang.
Seseorang siswa bertingkah laku menyimpang, melakukan
perbuatannya itu karena :
a. Siswa telah
mempelajari tingka laku yang menyimpang itu.
b. Siswa tersebut
belum mempelajari tingkah laku yang sebaiknya.
Pada masalah perorangan ini ada empat teknik sederhana
bagi seorang guru untuk mengetahui tingkah laku siswa, yaitu :
a. Apabila seorang guru merasa
ternganggu atau bosan dengan tingkahlaku seorang siswa, tandanya siswa yang
bersangkutan adalah mencari perhatian.
Seorang siswa yang gagal menemukan kedudukan dirinya
secara wajar dalam suasana hubungan social yang saling menerima biasanya
(secara aktif maupun pasif), bertingkah laku mencari perhatian orang lain.
Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang aktif
dapat dijumpai pada anak-anak yang suka pamer melawak (memperolok), membikin
onar, memperlihatkan kenakalan, terus menerus bertanya, singkatnya tukang
rewel. Tingkah laku destruktif pencari yang pasif, dapat dijumpai anak-anak
yang malas atau anak yang terus-menerus meminta bantuan orang lain.
b. Apabila guru merasa terancam atau
dikalahkan hal ini tandanya siswa tersebut mencari kekuasaan.
Tingkah laku mencari kekuasaan tidak jauh berbeda
dengan mencari perhatian yang destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari
keuasaan yang aktif selalu suka mendekat, berbohong, menampilkan adanya
pertentangan pendapat, tidak mau melakukan yang diperintah orang lain, dan
menunjukkan sikap tidak patuh secara terbuka.
Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada anak-anak
yang menonjolkan kemalasannya, sehingga tidak melakukan apa-apa sama sekali,
anak-anak seperti ini amat pelupa, keras kepala dan secara pasif memperlihatkan
ketidak patuhan.
c. Apabila seorang guru merasa amat
disakiti, hal ini tandanya siswa yang bersangkutan menuntut balas.
Siswa yang menuntut balas mengalami frustasi yang amat
dalam dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari sukses dengan jalan
menyakiti orang lain.
Keganasan, penyerangan secara fisik (mencakar,
menendang, menggigit) terhadap sesame siswa, penguasa atau petugas begitu pula
kejam terhadap binatang. Anak-anak seperti ini merasa sakit kalau dikalahkan,
dan mereka bukan pemain-pemain yang baik (misalnya dalam pertandingan).
Anak-anak yang suka menunut balas ini biasanya lebih
suka bertindak secara aktif dari pada pasif, anak-anak penuntut balas ini yang
aktif dikenal sebagai anak-anak yang gana dan kejam, sedangkan yang pasifnya
dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh (suka menentang).
d. Jika seorang guru tidak mampu lagi
menolongnya, tandanya siswa tersebut mengalami masalah ketidak mampuan lagi.
Siswa yang memperlihatkan ketidakmampuan pada dasarnya
merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu yang dikehendakinya (yaitu
rasa memiliki) dan bersikap menyerah terhadap tantangan yang menghadangnya,
bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada didepannya hanyalah kegagalan yang
terus menerus.
Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi, ini
biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan atau memencilkan diri. Sikap
yang memperlihatkan ketidak mampuan ini selalu berbentuk pasif.
2. MASALAH KELOMPOK
Dikenal adanya tujuh masalah kelompok dalam kaitannya
dengan pengelolaan kelas, yaitu :
a.
Kurang kekompakan
Kurang kekompakan kelompok ditandai dengan adanya
ketidak cocokan (konflik) diantara anggota kelompok. Konflik antara siswa-siswi
disebabkan karena berlainan jenis kelamin dan suku. Hal ini dapat kita
bayangkan, bahwa kelas yang siswa-siswinya tidak kompak akan beriklim tidak
sehat yang diwarnai oleh adanya konflik, ketegangan dan kekerasan, tidak saling
membantu. Siswa-siswi dikelas seperti ini akan merasa tidak senang dengan kelompok
kelasnya sehingga mereka tidak merasa tertarik dengan kelas yang mereka duduki.
b. Kurang kemampuan mengikuti
peraturan kelompok
Kelas yang kurang kemampuan mengikuti peraturan
kelompok, hal ini disebabkan oleh karena siswa-siswi tidak mematuhi peraturan
kelas yang telah ditetapkan. Kelas ini biasanya suka berisik, bertingkah laku
mengganggu, berbicara keras-keras, suka saling dorong-mendorong. Biasanya
siswa-siswi begini menyela waktu antri di kantin.
c. Reaksi negative terhadap sesama anggota kelompok
Reaksi negative terhadap anggota kelompok terjadi
apabila ekspresi yang bersifat kasar dilontarkan terhadap anggota yang tidak
diterima oleh kelompok itu, biasanya terjadi dari anggota kelompok yang
menyimpang dari aturan kelompok, atau anggota kelompok yang ingin menghambat
kegiatan kelompok. Anggota kelompok yang dianggap menyimpang kemungkinan atau
kemudian dipaksa oleh kelompok itu untuk mengikuti kemauan kelompok.
d. Penerimaan kelas/kelompok atas tingkah laku yang
menyimpang
Penerimaan kelompok (kelas) atas tingkah laku yang
menyimpang terjadi apabila kelompok itu mendorong timbulnya atau mendukung
anggota kelompok yang bertingkah laku menyimpang dari norma-norma social pada
umumnya.
Contoh yang amat umum adalah perbuatan
memperolok-olokan (mentertawakan), misalnya membuat gambar-gambar yang lucu
tentang guru. Jika hal ini terjadi, masalah kelompok dan masalah perorangan
telah berkembang, masalah kelompok kelihatannya perlu mendapat perhatian.
e. Kegiatan anggota atau kelompok
yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, berhenti melakukan
kegiatan, atau hanya meniru-nirukan kegiatan orang lain
Masalah kelompok itu timbul, bila kelompok itu
terganggu dalam kegiatannya. Dalam hal ini kelompok bereaksi secara berlebihan
terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak berarti, bahkan memanfaatkan hal-hal
kecil untuk mengganggu kelancaran kelompok.
Contoh yang sering terjadi adalah siswa menolak untuk
melakukan karena beranggapan guru tidak adil. Jika hal ini terjadi, maka
suasana diwarnai oleh ketidaktentuan dan kekhawatiran.
f. Ketiadaan semangat tidak mau bekerja, suka protes
Masalah kelompok yang paling rumit adalah apabila
kelompok itu melakukan protes dan tidak mau melakukan kegiatan, baik hal ini
dinyatakan secara terbuka maupun secara terselubung. Permintaan penjelasan yang
terus menerus tentang sesuatu tugas, kehilangan pensil, lupa mengerjakan tugas
karena gangguan keadaan tertentu dan sebagainya.
Hal ini merupakan cotoh-contoh protes atau keengganan
bekerja. Pada umumnya protes dan keengganan seperti ini disampaikan secara
terselubung dan penyampaian secara terbuka biasanya jarang terjadi.
g. Ketidak mampuan menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan
Ketidak mampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan
terjadi apabila kelompok (kelas) bereaksi secara tidak wajar terhadap peraturan
baru atau perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan
jadwal kegiatan, penggantian guru dan lain-lain.
Mereka menganggap perubahan yang terjadi itu sebagai
ancaman terhadap kelompok. Contoh yang paling sering terjadi adalah tingkah
laku siswa yang tidak senang terhadap guru pengganti, padahal biasanya kelas
itu kelas yang baik.
BAB IV
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN KELAS
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas
guru dapat menerapkan berbagai pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Larangan dan Anjuran
a.
Jangan menegur siswa
dihadapan teman-temannya.
b.
Dalam memberikan
peringatan kepada siswa, jangan mempergunakan nada yang keras.
c. Bersikap adil dan tegas terhadap
semua siswa.
d. Jangan pilih kasih.
e. Sebelum menghukum siswa, buktikan
terlebih dahulu bahwa siswa itu bersalah.
f. Patuhlah pada aturan-aturan
yang telah anda tetapkan.
Pendekatan larangan dan anjuran diatas tampaknya
mudah, namun karena tidak didasarkan pada teori atau prinsip-prinsip tertentu
pada umumnya kurang dapat dilaksanakan secara mantap. Masing-masing perintah
atau larangan itu dapat diterapkan atas dasar generalisasi masalah-masalah
pengelolaan kelas tertentu.
Guru yang melaksanakan larangan dan anjuran hanya
bersifat reaktif terhadap masalah pengelolaan kelas yang timbul, jangkauan
tindakan yang reaktif inipun sangat sempit yaitu hanya terbatas pada
masalah-masalah yang muncul sewaktu-waktu saja.
Padahal dari guru diharapkan timbulnya tindakan-tindakan
yang dapat muncul dimasa depan, sehingga timbulnya masalah itu dapat dicegah,
atau apabila masalah-masalah itu timbul juga intensitasnya tidak begitu besar
dan dapat ditanggulangi secara tepat.
Kesulitan lainyang dapat timbul dengan diterapkannya
pendekatan “larangan dan anjuran” yang mirip-mirip tips itu ialah jika “tips”
itu ternyata gagal, maka :
a. Guru dapat kehilangan akal dan menangani
masalah yang dihadapi.
b. Guru tidak mampu menganalisa masalah itu
dan tidak mampu menemukan alternative-alternatif tindakan yang mungkin justru
lebih ampuh daripada larangan dan anjuran sebagaimana tercantum didalam “tips”
tersebut.
c. Pendekatan larangan dan anjuran itu
bersifat absolute dan tidak membuka peluang bagi diambilnya tindakan-tindakan
yang lebih luwes dan kreatif. Pendekatan “tips” ini hanya mengatakan jika
terjadi masalah ini, lakukan ini dan itu. Guru-guru yang mengandalkan penerapan
pendekatan seperti itu dianggap kurang memanfaatkan potensinya sendiri dan
kurang mampu menyelenggarakan pengelolaan kelas secara efektif.
2. Pendekatan Yang Tidak Tepat
a. Hukuman atau ancaman.
b. Pengalihan atau masa bodoh.
c. Penguasaan atau penekanan.
Apabila hal-hal ini dilaksanakan didalam kelas,
mungkin akan menghasilkan pengaruh tertentu, namun hasil yang ditimbulkan tidak
sebagaimana yang kita harapkan. Tindakan hukuman atau ancaman hanya sekedar
mengubah tingkah laku sesaat dan menyinggung aspek-aspek yang bersifat
permukaan belaka.
Sayangnya lagi, tindakan ini biasanya diikuti dengan
tingkah laku yang negative dari siswa, termasuk tindakan kekerasan. Tindakan
pengalihan atau masa bodoh seringkali menimbulkan semangat rendah, ketidak
tenangan, kecenderungan mencari kambing hitam, agresif serta tindakan kekerasan
lainnya. Tindakan penguasaan atau penekanan akan menghasilkan sikap
berpura-pura patuh, diam-diam bahkan tindakan kekerasan.
Pada umumnya tindakan-tindakan berdasarkan pendekatan
diatas tidak efektif. Apabila tindakan itu dilaksanakan, hasilnya adalah
pemecahan masalah sementara yang barangkali justru diikuti oleh timbulnya
masalah-masalah yang paling parah. Dapat dikatakan, bahwa pendekatan itu baru
menjangkau gejala-gejala yang menyertai masalah yang timbul dan belum
menjangkau inti permasalahan yang sebenarnya.
Berikut ini dikemukakan rincian beberapa tindakan yang
tidak tepat yang selalu dipergunakan untuk menangani masalah didalam kelas
yakni antara lain :
a. Tindakan menghukum atau mengancam
1. Menghukum dengan kekerasan, larangan
atau pengusiran.
2. Menerapkan ancaman atau memaksakan
berlakunya larangan-larangan.
3. Menghardik, mengasari dengan kata-kata,
mencemooh atau mentertawakan.
4. Menghukum seorang siswa sebagai contoh
bagi siswa lainnya.
5. Memaksa siswa untuk meminta maaf atau
memaksa tuntutan-tuntutan lainnya.
b. Tindakan Pengalihan atau masa bodoh
1. Meremehkan sesuatu kejadian atau tidak
melakukan apa-apa sama sekali.
2. Menukar susnan kelompok dengan mengganti
atau mengeluarkan anggota tertentu.
3. Mengalihkan tanggungjawab kelompok
kepada tanggungjawab seorang anggota.
4. Menukar kegiatan (seharusnya dilakukan
oleh siswa) untuk menghindari tingkah laku tertentu dari siswa.
5. Mengalihkan tingkah laku siswa dengan
cara-cara lain.
c. Tindakan Penguasaan atau penekanan
1. Memerintah, memarahi, mengomel.
2. Memakai pengaruh orang yang
berkuasa misalnya orang tua atau pimpinan sekolah.
3. Mengatakan ketidak setujuan dengan
mempergunakan kata-kata, tindakan atau pandangan.
4. Melakukan tindakan kekerasan
sebagai pelaksanaan dari ancaman-ancaman yang pernah dijanjikan.
5. Mempergunakan hadiah sebagai
perbandingan terhadap hukuman bagi para pelanggar.
6. Mendelegasikan wewenang kepada
siswa untuk memaksakan penguasaan kelas.
3. Pendekatan Pengubahan Tingkah Laku
(Behavioral modification)
Pendekatan pengubahan tingkah laku ini didasarkan
kepada teori-teori yang mantap, didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi
behavioral. Semua tingkah laku dipelajari, baik tingkah laku yang disukai maupun
tingkah laku yang tidak disukai. Pendekatan behavioral modification dibangun
atas dua anggapan dasar, yaitu :
a. Ada 5 (lima) “penguat”
(reinforcement), berlaku bagi proses belajar bagi semua tingkatan umur dan
dalam semua keadaan, yaitu :
1. Penguat positif
2. Penguat negativ
3. Penghukuman
4. Penghilangan ganjaran
5. Penundaan ganjaran
b. Proses belajar sebagian atau
bahkan seluruhnya dipengaruhi (kontak) oleh kejadian-kejadian yang ada
dilingkungannya.
Sebelum kita memberikan penguat terhadap penampilan
tingkah laku tertentu, maka perlu sekali kita perhatikan dan dipertimbangkan
akibat (konsekwensi) dari pada pemberian penguat tersebut, seperti :
1. Apabila ganjaran diberikan/penguat
positif.
2. Apabila hukuman diberikan.
3. Apabila ganjaran dihentikan.
4. Apabila hukuman dihentikan/penguat
negative.
Teori pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa jika
tingkah laku tertentu, apakah tingkah laku yang disukai maupun tidak disukai,
apabila diberikan ganjaran/penguat (reinforcement), maka akan memperoleh
tingkah laku yang diinginkan. Hal ini telah terbukti bagi kaum behavioris,
karena penguat merupakan pengontrol tingkah laku manusia.
Dengan demikian penguat dapat dipandang sebagai
kejadian yang dapat meningkatkan kemungkinan diulangi tingkah laku tertentu,
dengan kata lain apabila tingkah laku tertentu diberikan ganjaran, maka tingkah
laku itu cenderung diteruskan atau ditingkatkan.
Penguat dapat diberikan dalam berbagai bentuk secara
ringkas guru dapat menumbuhkan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa
melalui penerapan penguat positif yaitu pemberian ganjaran, dan penguat
negative yaitu peniadaan hukuman.
Guru dapat mengurangi tingkah laku siswa yang tidak
diinginkan melalui penerapan hukuman, yaitu pemberian rangsangan yang tidak
mengenakkan, penghilangan ganjaran yaitu menahan pemberian ganjaran yang biasa
diberikan dan penundaan yaitu mengecualikan siswa dari pemberian ganjaran
tertentu.
Dibawah ini mari kita perhatikan berbagai penguat yang
dapat diterapkan dalam pengelolaan kelas sebagai berikut :
1. Penguat positif
Penguat positif yaitu pemberian ganjaran setelah
ditampilkannya tingkah laku yang dimaksud, dengan diberikannya ganjaran, maka
frekwensi pemunculan tingkah laku tersebut cenderung diteruskan atau
ditinggalkannya.
Contoh : Hamid mengerjakan ujian mid semester,
menjawab dengan baik, dengan tulisan yang rapi yang memudahkan guru untuk
membacanya, guru memuji pekerjaan Hamid tersebut dan memberikan komentar bahwa
pekerjaan Hamid hasinya baik sekali, apalagi ditulis dengan rapi, dengan bahasa
yang baik, mudah membacanya. Untuk ujian-ujian berikutnya Hamid rajin belajar
agar nilainya lebih baik lagi.
2. Penguat negative
Penguat negative adalah meniadakan perangsang atau
siswa tidak suka diberikan hukuman setelah ditampilkan tingkah laku, kalau
ganjaran diberikan dapat mengakibatkan menurunnya frekwensi tingkah laku
tersebut.
Contoh : Amran seorang siswa terus menerus mengerjakan pekerjaan rumahnya
tidak baik, malah ada yang tidak diserahkan kepada gurunya. Meskipun gurunya
terus-menerus menegur dan memarahinya, pada suatu ketika Amran menyerahkan
pekerjaan rumahnya dengan tidak baik tanpa komentar, tanpa teguran atau tanpa
marah (peniadaan hukuman). Selanjutnya ternyata Amran mengerjakan pekerjaan
rumahnya dengan baik, malahan Amran belajar lebih baik lagi.
3. Penghukuman
Penghukuman adalah memberikan hukuman kepada siswa
yang menampilkan tingkah laku yang tidak baik. Setelah diberikan hukuman, maka
frekwensi tingkah laku siswa yang tidak baik itu menurun.
Contoh : Rini menyerahkan kepada gurunya laporan yang kurang
rapi, guru memarahi Rini karena tidak memperhatikan kerapian laporan itu dan
mengatakan bahwa laporan yang tidak rapi tersebut sulit dibaca, dan menyuruh
Rini untuk mengulanginya kembali (hukuman). Untuk laporan-laporan selanjutnya
Rini lebih memperhatikan kerapian laporannya (frekwensi tingkah laku yang
mendapatkan hukuman itu menurun).
4. Penghilangan ganjaran
Penghilangan penguat adalah menahan (tidak lagi
memberikan) ganjaran yang diharapkan akan diberikan seperti yang sudah-sudah
(menahan pemberian penguat positif). Penghilangan ini menghasilkan penurunan
frekwensi tingkah laku yang semula mendapat penguatan.
Contoh
: Susi
laporanlaporan sebelumnya memperoleh pujian dari guru. Kali ini guru menerima
laporan itu, setelah dibaca dikembalikan tanpa komentar apa-apa (menahan
pemberian penguat positif). Untuk laporan-laporan Susi berikutnya menjadi
kurang rapi (frekwensi tingkah laku yang telah dikuatkan menurun).
5. Penundaan ganjaran
Penundaan merupakan tidak jadi memberikan ganjaran
atau pengecualian pemberian ganjaran untuk siswa tertentu. Penundaan seperti
ini menurunkan frekwensi penguatan dan menurunkan frekwensi tingkah laku.
Contoh : Para siswa dikelas Ibu Elly
(guru bahasa Inggris) yakin bahwa guru mereka itu akan menyelenggarakan
permainan kata-kata (word game). Jika para siswa mengerjakan tugas dengan baik,
permainan itu amat digemari oleh siswa.
Ternyata siswa-siswa memang mengerjakan tugas dengan baik kecuali Jayeng,
Ibu Elly mengatakan bahwa Jayeng tidak diperkenankan untuk ikut serta dalam
permainan itu dan duduk terpisah dari kelompoknya (mengecualikan pemberian
ganjaran untuk siswa yang tertentu). Selanjutnya Jayeng mengerjakan
tugas-tugasnya dengan baik.
- Klasifikasi Penguat
Penguat ini dapat pula digolongkan kepada dua klasifikasi besar yaitu
sebagai berikut :
1. Penguat Dasar, yaitu penguat yang tidak
dipelajari dan sangat sangat diperlukan sekali bagi kelangsungan gidup, seperti
makanan, air, dan udara yang segar.
2. Penguat Bersyarat, yaitu penguat yang
dipelajari seperti pujian-pujian, kasih sayang, dan uang. Penguat bersyarat ini
meliputi :
a. Penguat Sosial yaitu pemberian ganjaran
terhadap tingkah laku tertentu oleh orang lain dalam kaitannya dengan suasana
social seperti tepuk tangan, puji-pujian.
b. Penguat penghargaan yaitu jenis ganjaran
yang merupakan tanda penghargaan, mungkin saja tanda penghargaan ini dapat
ditukar dengan ganjaran yang nyata yang dapat bermanfaat seperti uang atau
tanda tukar kebutuhan sekolah lainnya.
c. Penguat Kegiatan, yaitu jenis ganjaran
berupa kesempatan untuk melakukan kegiatan tertentu seperti kesempatan
berkreasi, membaca bebas di perpustakaan dan sebagainya.
- Penjadwalan Penguatan
Tentang kapan penguta itu diberikan juga penting.
Tingkahlaku siswa yang dianggap baik perlu diteruskan, hendaklah diberikan
penguat sesegera mungkin setelah tingkahlaku itu ditampilkan.
Tingkahlaku yang tidak diinginkan dari siswa perlu
dihentikan, diberikan hukuman sesegera mungkin setelah tingkahlaku itu
ditampilkan, tingkahlaku yang tidak segera diberikan penguat akan cenderung
melemah dan tingkahlaku yang tidak baik segera diberikan hukuman akan cenderung
berkembang (menguat).
Dengan demikian unsur waktu dalam pemberian penguatan
dan hukuman adalah penting, “makin cepat makin baik,” merupakan kata-kata yang
perlu diperhatikan bagi guru berkenaan dengan keefektifannya dalam mengelola
kelas.
Ada dua macam penjadwalan penguat berkala, yakni sebagai
berikut:
1. Penjadwalan Interval
Penjadwalan Interval adalah yang dilaksanakan oleh seseorang guru untuk
memberikan penguat kepada siswa dalam jangka waktu tertentu, misalnya member
penguat setiap jam.
2. Penjadwalan Rasio
Penjadwalan Rasio dilaksanakan oleh guru memberikan penguat kepada siswa
setiap menampilkan kembali tingkah laku yang tidak baik, misalnya guru
memberikan penguat pada setiap siswa yang telah menampilkan empat kali
tingkahlaku yang dimaksud.
Pada umumnya penjadwalan Interval lebih efektif
diterapkan untuk mempertahankan agar tingkah laku yang baik berlangsung secara
terus menerus atau tetap, sedangkan penjadwalan Rasio lebih efektif untuk
meningkatkan frekwensi penampilan yang tingkahlaku.
4. Pendekatan Iklim Sosio Emosional
Pendekatan Iklim Sosio Emosional dalam pengelolaan
kelas berakar dari psikologi penyuluhan dan klenik. Pendekatan ini beranggapan
bahwa apabila seorang guru ingin berhasil dalam proses belajar mengajar,
apabila hubungan interpersonal antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa
terjalin dengan baik. Dalam hubungan ini guru adalah penentu utama, dengan
demikian tugas pokok guru adalah membangun hubungan interpersonal dan
mengembangkan iklim sosio emosional pada pengelolaan kelas yakni sebagai
berikut :
a. Menurut Carl Rogers; ia mengatakan
bahwa factor yang sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar adalah
mutu sikap yang ada dalam hubungan interpersonal antara guru sebagai
fasilitator dan siswa sebagai pelajar.
Roger mengemukakan beberapa sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru,
yaitu :
1. Kesadara akan diri sendiri
Guru perlu mengenal dirinya dengan baik dan menampilkan dirinya sebagaimana
adanya, tidak berpura-pura, terbuka, karena penampilan diri sebagaimana adanya
adalah merupakan sikap yang paling mempengaruhi proses belajar.
2. Penerimaan guru
Sikap penerimaan guru adalah amat penting dalam membantu siswa belajar,
karena siswa merasakan bahwa kehadirannya didalam kelas diterima oleh guru,
maka siswa ini akan merasakan dirinya sebagai individu yang berharga, dipercaya
dan dihormati. Dengan demikian akan membuat siswa lebih senang belajar, sikap
guru ini akan dapat membantu siswa dalam belajar.
3. Pengertian dengan penuh simpati
Guru disini dituntut untuk mengetahui atau kepekaan terhadap
perasaan-perasaan siswa. Perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan dalam kelas
dapat mengurangi motifasinya dalan belajar. Hendaknya guru harus
mengerti, baik perasaan yang timbul dari hubungan guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa.
b. Menurut Ginot; ia menekankan
pentingnya komunikasi yang diselenggarakan guru.
Yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi adalah
guru hendaknya membicarakan keadaan yang dijumpai pada waktu itu dan tidak
membicarakan pribadi atau sifat-sifat khusus siswa.
Jika guru dihadapkan pada hal-hal yang tidak
menyenangkan, guru disarankan agar menjelaskan apa yang dilihat, apa yang
dirasakan, dan apa yang sebaiknya ia lakukan.
Pendekatan iklim sosio emosional adalah mengutamakan
hubungan guru dengan siswa yang penuh simpati serta saling menerima. Pendekatan
ini menekankan pentingnya tindakan guru yang menyebabkan siswa memandang guru
itu betul-betul terlibat dalam pembinaan serta benar-benar memperhatikan suka
duka siswa.
Apabila siswa bertingkahlaku menyimpang, maka guru
bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah” tetapi menerima
siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak perbuatan yang menyimpang.
Imflikasi pendekatan ini adalah bahwa siswa dipandang sebagai “keseluruhan
pribadi yang sedang berkembang “bukan hanya semata-mata sebagai seorang anak
yang sedang mempelajari pelajaran tertentu saja.
c. Menurut Glasser; ia menekankan
pentingnya keterlibatan guru dalam mencapai sukses, Glasser percaya bahwa
satu-satunya kebutuhan dasar yang dimiliki manusia adalaj kebutuhan akan
identitas diri, barulah seseorang dapat tegak berdiri penuh arti.
Agar siswa dapat mencapai pengalaman sukses di
sekolah, maka siswa harus mengembangkan tanggungjawab social dan perasaan
dirinya berarti. Tanggungjawab dan perasaan dirinya berarti itu adalaj
merupakan hasil hubungan yang baik antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa dan siswa dengan orang lain. Dengan demikian dalam
mengambangkan pengalaman sukses adalah keterlibatan siswa.
d. Menurut Driekurs; ia mengemukakan
dengan adanya dua hal yang sangat penting dalam mengembangkan hubungan
interpersonal dan iklim sosio emosional dalam kelas yaitu :
a. Penekanan kelas yang demokratis
b. Perlu diperhatikan akibat-akibat
tertentu dari sesuatu tindakan atau kejadian atas tindakan siswa.
Unsur yang paling dominan dalam pendekatan Drickers
adalah tingkahlaku dan keberhasilan siswa terganutng pada suasana demokratis
yang ada dalam kelas-kelas yang otokratis, dimana guru mempergunakan kekerasan,
penekanan, hukuman, dan bahkan ancaman untuk mengontrol tingkahlaku siswa.
Sedangkan kelas yang permisif adalah dimana guru sedikit sekali atau sama
sekali tidak memperlihatkan kepemimpinannya dikelas terlalu banyak memberikan
kekerasan kepada siswa. Baik kelas yang otokratis maupun permisif (masa bodoh)
mengarahkan siswa terjerumus kedalam frustasi, kekerasan, atau menarik diri,
kedua kelas itu tidak produktif.
Jadi kelas yang dapat memberikan semangat yang
benar-benar produktif hanyalah dalam suasana kelas yang demokratis. Adapun
cirri-ciri kelas yang demokratis adalah sebagai berikut :
1. Siswa diperlakukan sebagai individu yang
berharga dan bertanggungjawab.
2. Mampu mengambil keputusan dan memecahkan
masalah-masalahnya sendiri.
Dalam suasana kelas demokratis itu pula dikembangkan
sikap saling percaya mempercayai antara guru dengan siswa dan siswa dengan
siswa. Guru yang ingin menciptakan suasana demokratis di kelas, tidak boleh
menjadi penguasa atau melepaskan tanggungjawab di kelasnya. Guru yang
demokratis bersifat membimbing sedangkan guru yang otokratis mendominasi dan
guru yang masa bodoh melepaskan tanggungjawab atas pembinaan dan
keberhasilan kelas. Guru yang demokratis mengajar dan membagi tanggungjawab
kepada semua warga kelasnya.
Kunci dari organisasi kelas yang demokratis adalah
adanya diskusi-diskusi yang mantap dan terbuka, dalam kegiatan ini guru
bertindak sebagai pemimpin membimbing kelompok siswa mendiskusikan
masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan siswa. Hasil dari kegiatan adalah :
1. Guru dan siswa mempunyai kesempatan
untuk menggunakan/mengemukakan segala sesuatu yang dirasakan secara terbuka.
2. Guru dan siswa mempunyai kesempatan
untuk saling memahami.
3. Guru dan siswa mempunyai kesempatan
untuk saling bantu membantu.
5. Pendekatan Proses Kelompok
Pendekatan proses kelompok dikenal juga sebagai
pendekatan sosio psikologis yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang dipilih
dari psikologi social dan dinamika kelompok.
Pokok-pokok pikiran ini dilator belakangi anggapan dasar sebagai berikut :
a. Kegiatan sekolah berlangsung dalam
suasana kelompok yaitu kelompok kelas.
b. Tugas pokok guru adalah
mengembangkan dan mempertahankan suasana kelompok kelas yang efektif dan
produktif.
c. Kelompok kelas adalah suatu sistim
social yang memiliki cirri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistim social
lainnya.
Menurut Schmuck ada unsur apabila seorang guru ingin
berhasil dalam pendekatan proses kelompok kelas yaitu :
a. Harapan
Guru adalah sebagai model bagi siswa, guru adalah
digugu dan ditiru oleh siswanya. Oleh karena itu guru harus menjunjung tinggi
kode etiknya sebagai guru. Guru dituntut menampilkan sikap yang baik, memiliki
emosi yang tetap dan mantap, rapi, teratur, bersih, dan tertib.
Hal ini semuanya sangat mempengaruhi didalam hubungan
antara guru dengan siswa. Karena suatu kelompok kelas yang efektif akan terjadi
apabila harapan yang berkembang pada diri guru dan siswa adalah tepat,
realistis dan secara jelas dimengerti oleh guru dan siswa.
Apabila tingkahlaku guru menunjukkan harapan-harapan
yang baik, maka harapan itu akan berkembang pada diri siswa, dengan sendirinya
siswa itu akan baik, tetapi apabila guru menampilkan tingkahlaku yang tidak
baik, boleh jadi siswanya juga tidak baik.
b. Kepemimpinan
Guru memiliki peluang yang amat besar untuk
menerangkan kepemimpinannya dalam kelompok kelas.suatu kelompok kelas yang
efektif akan tercipta apabila fungsi kepemimpinan itu didistribusikan secara
baik oleh guru kepada siswa.
Jadi fungsi kepemimpinan benar-benar dapat diwujudkan
secara bersama oleh guru dan siswa dalam kelompok kelas, sehingga semua anggota
kelompok kelas dapat merasakan, bahwa mereka memiliki kekuatan dan harga diri
untuk menyelenggarakan tugas-tugas lainnya yang dibebankan kepadanya.
Memiliki gaya kepemimpinan yang tepat, seorang guru
harus memperhatikan tiga hal, yaitu :
1. Urusan tugas
Urusan tugas, adalah seberapa jauh pimpinan memperhatikan penyusunan tugas
untuk kelompok. Sampai seberapa jauh seorang dapat bekerja tidak tergantung,
mengambil inisiatif dan tanggungjawab, serta mempunyai keterampilan dan
pengetahuan untuk menyelesaikan tugas, hal ini mencerminkan kematangan.
2. Masalah hubungan
Masalah hubungan menyangkut urusan pimpinan untuk memajukan hubungan yang
baik antar pribadi dan komunikasi antar anggota.
3. Kematangan
Kematangan seseorang dalam kelompok merupakan kunci, pimpinan kelompok
dapat memusatkan perhatian kepada hubungan antar pribadi atau urusan tugas yang
terstruktur rendah atau tinggi.
Untuk kepemimpinan didalam kelas, seorang guru harus dapat memperhatikan
tingkat kematangan siswanya. Dalam hal ini seorang guru dapat memilih gaya
kepemimpinan dibawah ini :
a. Pemberitaan; untuk kelompok yang belum
matang pimpinan akan lebih efektif dengan orientasi tugas, kolaborasi (kerja
sama) antar anggota tidak perlu mendapat tekanan. Tiap anggota memerlukan waktu
banyak untuk menyelesaikan tugas.
b. Penjualan; untuk kelompok setengah
matang, pemimpin akan lebih efektif dengan orientasi tugas dan hubungan antar
pribadi. Kelompok mulai memerlukan struktur dan kolaborasi, mulai ad aide yang
keluar dari kelompok dan harus mulai didengar. Mereka tidak puas jika hanya
diperintah, sehingga pimpinan harus mulai dengan menjual ide.
c. Partisipasi; untuk kelompok agak matang,
pemimpin akan lebih efektif jika mengurangi pemberitaan apa yang harus
dilakukan, tetapi meningkatkan hubungan antar pribadi. Kelompok sudah mampu
merumuskan tujuan, menerima tanggungjawab, mengambil prakarsa dan menyelesaikan
tugas. Pemimpin akan mempertimbangkan ide kelompok dan membantu para anggota
bekerja sama, pemimpin supaya bertindak sebagai partisipan.
d. Pendelegasian; untuk kelompok yang
matang, pemimpin akan lebih efektif bila ia mulai mendelegasikan tugas dan
tanggungjawab. Kelompok telah memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk
menyelesaikan tugas, hubungan antar pribadi dan komunikasi sudah berjalan.
Mereka tidak akan menyenangi pimpinan yang memerintah apa yang harus dilakukan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka guru
seharusnya menguasai tiga hal, yaitu :
- Pertama ia harus tahu
betul dengan siswanya, sehingga dapat menilai tingkat kematangannya, dengan
demikian gaya mengajar disesuaikan tingkat itu.
- Kedua ia haurs mampu bertindak luwes,
kematangan siswa yang baru masuk berbeda dengan siswa yang sudah duduk dikelas
III. Oleh karena itu gaya mengajar perlu berubah disesuaikan dengan tingkat
kematangannya, bila ingin efektif. Siswa yang matang akan menolak gaya cerita
dan keterangan tugas, sebaliknya siswa yang belum matang akan putus asa bila
mendapat pendelegasian, masih ada ketergantungan dan belum banyak inisiatif.
- Ketiga, guru supaya mau bekerja sama
untuk mengembangkan tingkat kematangan siswa. Perubahan gaya supaya disesuaikan
dengan tingkat kematangan siswa.
c. Kemenarikan
Kemenarikan berkaitan erat dengan pola keakraban yang terdapat dalam
kelompok kelas. Kemenarikan dapat juga diartikan sebagai tingkat
hubungan persahabatan diantara para anggota kelompok kelas
sebagaimana yang telah dijelaskan pada pendekatan interpersonal dan iklim sosio
emosional, dimana tingkat kemenarikan itu tergantung pada sampai seberapa jauh
hubungan interpersonal dan iklim sosio emosional yang positif telah
dikembangkan. Dengan demikian pengelolaan kelas yang efektif adalah kemampuan
seorang guru meningkatkan hubungan interpersonal yang positif diantara anggota
kelompok kelas. Misalnya, guru berusaha meningkatkan sikap mau menerima dari
anggota kelas terhadap siswa baru yang selama ini mereka tolak.
d. Norma
Norma adalah suatu pedoman tentang cara bertingkah laku, cara berpikir yang
diakui bersama oleh anggota kelompok. Norma ini sangat besar pengaruhnya
terhadap hubungan interpersonal yang positif dalam kelas, sebab norma memberikan
pedoman tentang apa yang dapat diharap dan apa yang dapat dilakukan terhadap
orang lain.
Oleh karena itu seorang guru jangan membuat aturan-aturan yang memberatkan,
baik bagi guru itu sendiri maupun bagi siswa sebagai anggota kelompok kelas,
agar kemanunggalan kelas terpelihara sebagai suatu kelompok yang utuh.
Norma-norma ini adalah merupakan petunjuk bagi siswa dalam bertingkah laku,
dengan demikian adalah tugas bersama, baik guru maupun siswa untuk
mengembangkan, menerima dan memperthankan norma-norma yang telah dibuat dan
berlaku bagi seluruh anggota kelompok kelas, sehingga norma tersebut
benar-benar berfungsi sebagai pedoman yang utuh dalam mengatur hubungan
interpersonal yang positif.
e. Komunikasi
Komunikasi baik verbal maupun non-verbal, yang digunakan untuk berdialog
antar anggota kelompok. Dalam komunikasi sangat dituntut sekali kemampuan
seseorang untuk saling memahami ide-ide dan perasaan orang lain. Dengan
demikian komunikasi akan sangat berarti sebagai wahana yang memungkinkan
terjadinya interaksi yang bermakna diantara anggota kelompok.
Komunikasi yang efektid berarti bahwa sipenerima menafsirkan secara benar
dan tepat proses yang disampaikan. Dalam hal ini tugas guru berarah ganda yaitu
membuka saluran komunikasi yang memungkinkan semua siswa secara bebas
mengemukakan pikiran dan perasaannya, serta menerima pikiran dan perasaan yang
mereka komunikasikan kepada guru.
f. Keeratan hubungan
Keeratan berkaitan dengan rasa kebersamaan yang dimiliki oleh kelompok
kelas, tidak seperti pengertian komunikasi. Keeratan menekankan hubungan
individu terhadap kelompok secara keseluruhan, bukan terhadap individu-individu
lain didalam kelompok. Untuk perkembagan keeratan dalam kelompok, menurut
Schenuck mengemukakan beberapa syarat, yaitu :
1. Semua anggota kelompok harus ada minat uang besar
terhadap tugas-tugas kelompok.
2. Antara anggota kelompok harus saling menyukai.
3. Kelompok tersebut harus memberikan prestis tertentu
kepada/kelompok kelas, termasuk gurunya harus merasa amat tertarik terhadap
kelompok kelasnya secara keseluruhan.
Keeratan dapat tumbuh apabila kebutuhan individu dapat terpenuhi dengan
jalan menjadi anggota kelompok. Keeratan merupakan hasil dari dinamika antara
harapan-harapan yang dalam hubungan interpersonal, gaya kepemimpinan, pola
kemenarikan dan arus komunikasi yang ada dalam suatu kelompok kelas melalui
penyelenggaraan diskusi terbuka tentang harapan-harapan, melalui penyebaran
kepemimpinan melalui sesering mungkin komunikasi dua arah.
Keeratan merupakan hal yang terpenting untuk kelompok produktif. Kelompok
yang erat memiliki norma-norma kelompok yang jelas. Pengelolaan kelas yang
efektif adalah yang mampu menciptakan kelompok yang erat dan memiliki norma
yang terarah pada tujuan.
BAB V
PROSEDUR PENGELOLAAN KELAS
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pengelolan kelas
merupakan alah satu aspek daripada proses belajar mengajar yang paling rumit
tetapi menarik perhatian, baik oleh guru-guru yang sudah berpengalaman maupun
bagi guru-guru muda yang baru bertugas.
Rumit, karena pengelolaan kelas memerlukan berbagai
kritetria keterampilan, pengalaman, bahkan kepribadian sikap dan nilai seorang
guru cukup berpengaruh terhadap proses belajar dan mengajarnya. Dua guru yang
sama pintarnya dan berpengalaman, tetapi berbeda dalam kepribadian nilai serta
sikap, akan berbeda sekali situasi belajar yang dihasilkan keduanya. Disinilah
letaknya “seni” dalam mengelola proses belajar mengajar.
Dikatakan menarik, karena pengelolaan kelas disatu
pihak memerlukan kemampuan pribadi serta ketekunan menghadapinya, sedangkan
dilain pihak sangat menentukan berhasil tidaknya pencapaian “tujuan
instruksional” yang telah ditentukan. Oleh karena itu guru mempunyai peranan
yang sangat besar dalam menentukan berhasil tidaknya pengelolaan kelas maupun pengelolaan
pengajaran.
Sebelum kita menjelaskan prosedur pengelolaan kelas
baik kita jelaskan apakah perbedaan pengelolaan kelas dengan prosedur
pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas adalah “pekerjaannya” sedangkan prosedur
pengelolaan kelas adalah lagkah-langkah bagaimana pekerjaan itu berjalan.
Prosedur pengelolaan kelas ini mengacu pada dua tindakan yang dapat dilakukan
oleh seorang guru dalam menanggulangi tingkah laku siswa itu :
1. Tindakan preventif atau tindakan
pencegahan yang dilakukan oleh seorang guru untuk mencegah supaya tingkah laku
yang tidak kita inginkan jangan timbul.
2. Tindakan kuratif atau tindakan
penyembuhan yang dilakukan oleh seorang guru untuk menyembuhkan tingkah laku
siswa yang telah terjadi, agar tingkah laku tersebut jangan berlangsung terus
menerus, juga agar jangan terulang kembali.
1. Tindakan Preventif
Tindakan preventif ini dapat pula kita bagi atas 5 bagian, yaitu ;
a. Peningkatan kesadaran diri sebagai
guru
Peningkatan kesadaran diri sebagai guru adalah langkah pertama yang paling
utama, yang harus ada pada seorang guru, karena langkah ini adalah yang paling
mendasar dan strategis bagi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Dengan
adanya kesadaran ini pada guru, akhirnya akan dapat meningkatkan rasa tanggungjawab
(sense of responsibility).
Dengan sendirinya akan diikuti pula oleh rasa memiliki (sense of
belongness) yang merupakan modal dasar bagi seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya. Kesadaran disini tidak saja kesadaran akan rasa tanggungjawab, akan
tetapi juga kesadaran memahami sikap sendiri, dengan sendirinya guru akan mudah
memahami sikap siswanya yang merupakan reaksi terhadap sikap kepemimpinan yang
ditampilkan guru.
Guru hendaknya menunjukkan sikap yang stabil kepribadian yang harmonis dan
berwibawa, untuk dapat menimbulkan reaksi serta respon yang positif. Sikap dan
tingkah guru yang tidak tetap dan selalu berubah-ubah akan menimbulkan
kecemasan bagi siswa, terutama bagi siswa yang sangat perasa. Kesadaran akan
sikap diri sendiri sebagai guru dalam rangka memahami tingkah laku siswa,
merupakan langkah pertama yang strategis dan mendasar dalam kegiatan
pengelolaan kelas.
b. Meningkatkan kesadaran siswa
Setelah meningkatkan kesadaran diri sebagai guru, maka langkah yang kedua
dari prosedur pengelolaan kelas, dimensi pencegahan ini adalah peningkatan
kesadaran siswa.banyaknya tindakan yang dilakukan oleh siswa tanpa penuh
kesadaran, karena kurangnya kesadaran ini akan menyebabkan mudahnya terjadi
marah, murah tersinggung, mudah kecewa, yang pada akhirnya dapat melakukan
tindakan yang kurang terpuji, putus asa yang dapat mengganggu kondisi belajar.
Untuk meningkatkan kesadaran siswa, maka kepada mereka hendaknya diberi
tahu tentang hak dan kewajiban sebagai anggota dari suatu masyarakat kecil
yaitu kelas. Agar siswa lebih memahami kebutuhan dan keinginan-keinginan serta
tanggungjawabnya. Saling pengertian yang baik akan meningkatkan kerja sama
antara guru dengan siswa, sehingga akan terjalin hubungan yang terbuka yang
saling menghormati yang pada akhirnya akan mengurangi kemungkinan timbulnya
masalah pengelolaan kelas.
c. Sikap polos dan tulus dari guru
Guru merupakan sumber dan pengarang peranan dalam menciptakan suasan sosio
emosional didalam kelas. Peranan guru sangat besar pengaruhnya terutama terhadap
penciptaan kondisi yang optimal dalam rangka membelajarkan anak.
Oleh karena itu guru hendaknya bersikap polos dan tulus terhadap siswa,
maksudnya guru harus bersikap tulus dari hati nurani yang dalam, tidak
berpura-pura, berttindak dan bersikap apa adanya. Sikap dan tingkah lakuserta
tindakan yang demikian akan sangat membantu dan menentukan dalam mencegah
terjadinya masalah pengelolaan kelas. Sikap dan tindakan guru adalah merupakan
stimulus yang akan melahirkan respon atau reaksi dari siswa. Kalau stimulus
tersebut negative, maka respon atau reaksinya juga negatif.
d. Mengenal alternatif pengelolaan
Untuk menemukan alternative pemecahan masalah pengelolaan kelas, seorang
guru harus dapat mengedentifikasi berbagai jenis penyimpangan dari tingkah laku
siswa, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kelompok.
Tingkah laku tersebut apakah disengaja dibuat oleh siswa untuk menarik
perhatian guru dan teman-temannya atau secara negative seluruh siswa mereaksi
negatif karena seorang temannya tidak dapat menggunakan “r” dengan sempurna
waktu membaca.
Untuk itulah seorang guru dituntut untuk mengenal berbagai jenis
pendekatan dalam pengelolaan kelas serta memiliki dan atau memilih pendekatan
yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang akan timbul. Disamping
itu juga seorang guru dituntut supaya mempelajari pengalaman orang lain, baik
yang gagal maupun yang telah berhasil, sehingga guru tersebut memiliki
alternatif yang bervariasi dalam mengatasi berbagai problem pengelolaan kelas.
e. Menguat kontak sosial
Langkah yang terakhir adalah masalah kontak social (daftar aturan = tata
tertib) dengan sangsinya yang mengatur kehidupan dalam kelas. Biasanya norma
atau tata tertib ini muncul dari atas, hanya sepihak saja, siswa menerima apa
adanya karena tidak mempunyai pilihan lain, sehingga norma atau aturan itu
kurang dihormati atau ditaati.
Maka oleh sebab itu aturan tata tertib yang mengatur kehidupan kelas
sebaiknya dibuat dan disetujui bersama-sama guru dan siswa, dengan demikian
siswa dapat merasakan dan memiliki peraturan yang ada disekolahnya, yang
merupakan standar tingkah laku, yang memberikan gambaran tentang fasilitas
beserta keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan siswa, baik yang bersifat
individual maupun yang bersifat kelompok.
2. Tindakan kuratif
Tindakan kuratif dapat pula dibagi atas 9 bagian, yaitu :
a. Latar belakang timbulnya tingkah
laku siswa
Pada dimensi penyembuhan ini, seorang ugur harus mengetahui latar belakang
serta sumber penyebab dari penyimpangan tingkah laku siswa sehingga dengan
sendirinya guru lebih mudah memahami secara positif, guna menentukan pengobatan
yang tepat.
b. Membuat rencana pemecahan masalah
Setelah guru mengetahui latar belakang serta sebab terjadinya penyimpangan
tingkah laku siswa tersebut, maka langkah kedua adalah membuat untuk melakukan
rencana penanggulangan.
Data diatas merupakan landasan untuk melaksanakan rencana, perencanaan
tanpa didukung oleh data yang tepat tidak mempunyai arti apa-apa. Apabila
langkah-langkah yang diambil atau dibuat dalam rencana kurang tepat, maka
respom dari siswa akan tidak baik. Oleh sebab itu rencana penanggulangan
haruslah didasari oleh data yang benar, sehingga langkah tersebut mengenai
sasaran.
Dengan demikian langkah-langkah yang direncanakan itu tidak menimbulkan
gejolak baru atau menambah masalah kompleks, tetapi akan menyebabkan timbulnya
kesadaran untuk memperbaik diri.
c. Menetapkan waktu pertemuan
Dalam menetapkan waktu pertemuan harus disetujui bersama oleh guru dan
siswa yang bersangkutan, dengan adanya persetujuan dari siswa yang bersangkutan
untuk mengadakan pertemuan adalah merupakan suatu permulaan yang baik untuk
berhasilnya usaha penanggulangan. Sebab apabila siswa tidak mau menghadiri
pertemuan, berarti usaha penanggulangan itu telah gagal, karena yang
bersangkutan tidak ada. Oleh karena itu carilah waktu yang tepat, sehingga
semua pihak dapat hadir.
d. Menjelaskan tujuan dan manfaat
pertemuan
Tujuan dan manfaat peraturan tersebut perlu dijelaskan, sehingga siswa
mengetahui serta menyadari, bahwa pertemuan diusahakan dengan penuh ketulusan
hati semata-mata untuk perbaikan, baik untuk siswa sendiri maupun sekolah.
Sehingga siswa ini merasa butuh untuk menghadiri pertemuan yang diadakan
oleh gurunya karena pertemuan tersebut akan membawa manfaat bagi dirinya
sendiri.
e. Usaha untuk menemukan masalah,
katakana pada siswa bahwa gurupun tidaklah sempurna
Untuk menemukan masalah, dapat dilaksanakan oleh seorang guru dengan
berbagai cara, yaitu pertama menyadarkan siswa, katakana kepada siswa bahwa
manusia itu tidak ada yang sempurna, setiap manusia mempunyai kekurangan,
termasuk gurupun bukanlah orang yang sempurna, tidak ada manusia yang tidak
bersalah. Hal ini berpulang kepada manusia itu sendiri, apakah ia mau menyadari
kesalahannya atau tidak.
Setelah kita dapat menyadarkan siswa akan kesalahannya, maka segala
permasalahan yang sebenarnya, jangan sekali-kali keluar dari pokok
permasalahannya. Mudah-mudahan dengan cara menyadarkan serta membawa semua
pembicaraan pada pokok permasalahan akan dapat ditemukan titik temu dari
permasalahan.
f. Guru membawa siswa kepada
masalahnya
Untuk membawa siswa kepada masalahnya, guru tidak boleh langsung
menunjukkan kesalahannya, karena itu dalam pertemuan harus melalui pembicaraan
pendahuluan. Apabila seorang guru langsung menunjukkan kesalahan siswa, maka
besar kemungkinan siswa itu akan shock, kaget dan sebagainya, maka ia akan
memperlihatkan sikap menghindar dari kesalahan, apalagi siswa itu seperti
manusia biasa yang merasa memiliki harga diri, sukar untuk menyadari akan
kesalahannya.
Dalam memecah masalah, guru harus bijaksana dengan melalui sikap sabar
dengan menyadarkan siswa akan kelemahan dan kekurangan setiap manusia, dengan
cara ini siswa secara berangsur-angsur akan menunjukkan kesalahannya.
g. Lakukan diskusi tentang masalah
siswa
Bila pertemuan yang diadakan ternyata tidak terdapat respon dari siswa,
maka guru dapat mengajak siswa untuk melaksanakan diskusi pada waktu yang lain
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, tentukan waktu diskusi tersebut atas
dasar persetujuan antar guru dengan siswa.
Langkah ini dilaksanakan setelah ternyata langkah keenam gagal, karena
siswa tidak responsif. Kalau tidak ada respon dari siswa, maka hal ini tidak
boleh dipaksakan sebab siswa akan lebih agresif dan akan berpikir atau bersikap
menolak dan bahkan akan menjauh. Kalau yang demikian ini terjadi, maka usahakan
menempuh langkah yang ketujuh ini, langkah ini nampaknya lebih lebih bersifat
persuasive, secara formal lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membela dirinya bahkan kalau boleh mempertahankan kebenarannya. Didalam forum
diskusi, akan merasa bebas mengemukakan pendapatnya, pikiran, keinginan, maupun
perasaan yang dirasa perlu dikemukakannya.
h. Pertemuan guru dengan siswa harus
sampai kepada pemecahan masalah
Pertemuan guru dan siswa harus sampai pada pemecahan masalah dan sampai
kepada kontak individual yang diterima siswa dalam rangka memperbaiki tingkah
lakunya. Masalah yang dihadapi harus dipecahkan bersama-sama antar guru dan
siswa, sehingga siswa ini betul-betul merasa terlihat dan merasa
bertanggungjawab atas putusan yang diambil dan pada akhirnya siswa merasa
terikat untuk tunduk dan taat pada keputusan tersebut.
i. Melakukan kegiatan tindak
lanjut
Setelah pemecahan masalah dapat dilakukan atau diselesaikan secara baik,
hendaknya jangan sampai disitu saja tetapi harus diteruskan, karena justeru
tindakan setelah pemecahan masalah itu lebih penting. Karena setelah pemecahan
masalah dicapai dan tidak diikuti dengan pengawasan, pengamatan terhadap
masalah yang dipecahkan, maka hal itu kembali lagi atau kambuh lagi. Dengan
kata lain setelah pemecahan masalah tersebut harus dimonitor untuk mendapat
timbal balik (feed back), sehingga dapat diketahui apakah sesudah
pemecahan masalah itu terjadi lagi penyimpangan-penyimpangan atau tidak.
Hal ini perlu dimonitor, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, maka dapat segera ditanggulangi, tidak berlarut-larut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym (modul akta V) 1982. Pengelolaan Kelas, Depdikbud Dirjen
Pendidikan Tinggi; Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
Nasution, G, 1982. Berbagai Pendekatan Keterampilan Dalam Proses Belajar
Mengajar, Jakarta; PT. Bina Aksara.
Sastrawijaya, Tresna, 1988. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi,
Jakarta; Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan IPTK.
Somiawan, Sonny, dkk, 1993. Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta; PT.
Gramedia.
Surahmad, Winarno, 1982. Pengantar Interaksi Balajar Mengajar, Bandung;
Tarsito.
Komentar
Posting Komentar