Pendekatan Matematika Realistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari, kita selalu menghadapi banyak permasalahan.
Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan permasalahan
matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat sentral dalam menjawab
permasalahan keseharian itu (Suherman, 2003:65)[1].
Ini berarti bahwa matematika sangat diperlukan oleh setiap orang dalam
kehidupan sehari-hari untuk membantu memecahkan permasalahan. Oleh karena itu,
tidak salah jika pada bangku sekolah, matematika menjadi salah satu mata
pelajaran pokok yang diajarkan dari bangku taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi. Namun, pada kenyataannya masih ada sebagian siswa yang merasa kesulitan
dalam belajar matematika. Salah satu karakteristik matematika
adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini
menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi
matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum
menggembirakan. Third International Mathematics and Science Study (TIMSS)
melaporkan bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP)
Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan
berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). Rendahnya prestasi
matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara
komprehensif atau secara parsial dalam matematika.
Selain itu, belajar matematika siswa
belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah,
kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam
situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika
bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru
dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah
dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Orientasi pendidikan kita mempunyai
ciri cenderung memperlakukan siswa berstatus sebagai obyek; guru berfungsi
sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented dan
manajemen bersifat sentralis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan
praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan nyata yang ada di luar
sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan
pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak
sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan
berkepribadian.
Salah
satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak.
Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam
matematika. Rendahnya kemampuan matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa
yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam
matematika. Pembelajaran sejauh ini masih didominasi oleh guru, siswa kurang
dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika
yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda.
Teori
ini berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan
matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan
sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi
melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.
Dunia
riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran
lain selain matematika atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika atau pun
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk
mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi
kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai
peranan penting. Rute belajar(learning route) dimana
siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan,
sebagai kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses
belajar mereka.
Teori
PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti
konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL
mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang
dikembangkan khusus
untuk matematika.
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah adalah untuk mengetahui dan membahas lebih lanjut tentang :
1)
Apa pengertian dari pendekatan matematika realistik ?
2)
Apa prinsip pendekatan matematika realistik ?
3)
Bagaimana implementasi/ aplikasi pendekatan metemayika
realistik dalam pembelajaran matematika di SD/MI ?
1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan tujuan
dalam makalah ini, telah merumuskan
berbagai masalah, yaitu :
1)
Apa pengertian dari pendekatan matematika realistik ?
2)
Apa prinsip pendekatan matematika realistik ?
3)
Bagaimana implementasi/ aplikasi pendekatan metemayika
realistik dalam pembelajaran matematika di SD/MI ?
BAB II
PEMBAHASAN
21.
Pengertian Pendekatan Matematik Realistik
Menurut
Ruseffendi pendekatan dalam pembelajaran matematika adalah suatu jalan, cara
atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan
pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi
pembelajaran itu dikelola.[2]
Pendekatan Matematika
Realistik (PMR) adalah satu pendekatan pembelajaran matematik yang coba
menggunakan pengalaman dan lingkungan siswa sebagai alat bantu mengajar primer.
PMR adalah pendekatan baru dalam bidang pendidikan Matematika yang mulai
dikembangkan di Belanda sekitar 30 tahun yang lalu dan mulai diperkenalkan di
Indonesia pada tahun 1998. Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di
Nederlands. Ada satu hasil yang menjanjikan dari penelitian kuntitatif dan
kualitatif yang telah ditunjukan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan RME mempunyai skor yang lebih tinggi dibanding dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisional dalam hal
keterampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam aplikasi (Becker & Setler,
1996). Gagasan pendekatan dengan realistik ini tidak hanya popular di Negeri
Belanda saja, melainkan banyak mempengaruhi kerja para pendidik matematika di
banyak bagian dunia (Freudenthal, 1991; Gravemeijer, 1994; Streefland, 1991).[3]
Realistic Mathematics Education
adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa
matematika adalah aktivitas manusia dan matematika yang harus dihubungkan
secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber
pengembangan dan sebagai area aplikasi melalaui proses matematisasi baik
horizontal maupun vertikal
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit
merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan,
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa
diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain
merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan
hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi
dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol,
sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk
matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya
(Freudenthal, 1991).
Hal ini
disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda
“realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi
“membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan
apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara
itu.
Treffers
mengklasifikasikan 4 pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan komponen
matematika horizontal dan vertical, yaitu mechanistic, empiristic,
structuralistic dan realistic.[4]
Matematika horizontal adalah proses pematimatikaan yang berangkat dari dunia
nyata/ konteks ke dunia simbol. Sedangkan matematika vertical adalah proses
pematimatikaan yang bermula dari dunia simbol menuju dunia nyata. Proses
pematimatikaan yang dimaksud adalah suatu tahapan-tahapan atau langkah-langkah
yang harus dilalui untuk membentuk dan membangun ide/ konsep matematika.
Tabel 2.1
Pendekatan
Pembelajaran Dalam Pendidikan Matematika
Pendekatan
Pembelajaran
|
Komponen
Matematisasi
|
|
Horizontal
|
Vertical
|
|
Mekanistik
|
-
|
-
|
Empiristik
|
+
|
-
|
Structural
|
-
|
+
|
Realistic
|
+
|
+
|
Keterangan :
+ :
memuat komponen matematisasi
- :
kurang memuat komponen matematisasi
Berdasarkan
2 jenis matematisasi tersebut, menurut Treffers
secara umum klasifikasi pendekatan
pembelajaran Matematika berdasarkan intensitas matematisasinya yaitu
sebagai berikut :
1. Pendekatan
Mekanistik adalah pendekatan pembelajaran matematika yang lebih memfokuskan
pada drill/ latihan penghapal rumus saja, sedangkan komponen matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikalnya tidak tampak. Pendekatan ini sering
dikenal dengan pendekatan tradisional.
2. Pendekatan
Empiristik adalah pendekatan pembelajaran matematika yan leih menekankan pada
matematisasi horizontal dan cenderung mengabaikan matematisasi vertikal.
3. Pendekatan
Strukturalistik adalah pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
pada matematisasi vertikal dan cenderung mengabaikan matematisasi horizontal.
4. Pendekatan
Realistik adalah pendekatan pembelajaran matematika yang memberikan perhatian
seimbang antara matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Skema 2.1
Dalam proses
pematematikaan kita membedakan dua komponen proses matematisasi yaitu
horizontal mathematization dan vertical mathematization. Menurutnya bahwa “mula-mula
kita dapat mengidentifikasi bagian dari matematisasi bertujuan untuk
mentransfer suatu masalah ke dalam masalah yang dinyatakan secara matematika.
Melalui penskemaan dan mengedentifikasi matematika khusus ke dalam konteks
umum.[5]
Beberapa aktifitas
dalam matematisasi horizontal antara lain:
·
Pengidentifikasian matematika khusus
dalam konteks umum
·
Penskemaan
·
Perumusan dan pemvisualan masalah dalam cara
yang berbeda
·
Penemuan relasi (hubungan)
·
Penemuan keteraturan
·
Pengenalan aspek isomorphic dalam
masalah-masalah yang berbeda
·
Pentransferan real world problem ke dalam
mathematical problem
·
Pentransferan real world problem ke dalam
suatu model matematika yang diketahui.
Segera setelah masalah ditransfer ke
dalam masalah matematika, kemudian masalah ini dapat diuji dengan alat-alat
matematika, sehingga proses dan pelengkapan matematika dari real world problem
ditransfer ke dalam matematika.
Beberapa aktifitas yang
memuat komponen vertical matematisasi adalah:
·
Menyatakan suatu hubungan dalam suatu
rumus
·
Pembuktian keteraturan
·
Perbaikan dan penyesuaian model
·
Penggunaan model-model yang berbeda
·
Pengkombinasian dan pengintegrasian
model-model
·
Perumusan suatu konsep matematika baru
·
Penggeneralisasian.
Pengertian pendekatan
realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan yang
berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”.
Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang
menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak
dalam belajar matematika”.
Skema 2.2
Pendekatan Matematika
Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar
mengajar dalam pendidikan matematika. Teori Pendekatan Matematika Realistik
pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh
Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang
mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika
merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan
relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas
manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide
dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya
ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan
“realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas
tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.[6]
Pendekatan matematika
realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan
vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep
matematika.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik
awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan
konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam
bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran
matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan
memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah.
2.2
Prinsip Pendekatan Realistik
Secara umum,
prinsip-prinsip pendekatan matematika realistik terbagi menjadi 5 prinsip utama[7].
Lima prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik tersebut, yaitu:
1) Didominasi
oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal, yaitu sebagai sumber dan
sebagai terapan konsep matematika.
2) Perhatian
diberikan pada pengembangan model ”situasi skema dan simbol”.
3) Sumbangan
dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif
dan produktif.
4) Interaktif
sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.
5) Intertwinning
(membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.
Kelima prinsip
pembelajaran menurut filosofi ‘realistic’ di atas inilah yang menjiwai setiap
aktivitas pembelajaran matematika.
Rambu-rambu penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
realistik[8]
adalah: (1) Bagaimana “guru” menyampaikan matematika kontekstual sebagai
starting pada pembelajaran. (2) Bagaimana “guru” menstimulasi, membimbing, dan
memfasilitasi agar proses algoritma, simbol, skema dan model, yang dibuat oleh
siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal. (3) Bagaimana
“guru” memberi atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk
menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan
soal.
Dengan
mencermati prinsip pembelajaran PMR, pengertian PMR dibatasi penentuan masalah
kontekstual dan lingkungan yang pernah dialami siswa dalam kehidupan
sehari-hari agar siswa mudah memahami pelajaran matematika sehingga mudah
mencapai tujuan.
Prinsip
utama dalam PMR adalah sebagai berikut (Gravemeijer, 1994:90)[9]:
- Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing / pematematikaan progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam
Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual yang diberikan oleh
guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa diarahkan
dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan
kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana
ketika konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip
ini mengacu pada pandangan konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan
tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru,
melainkan dari siswa sendiri.
- Didactical phennomenology (fenomena pembelajaran)
Prinsip ini terkait dengan suatu
gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki
bahwa di dalam menentukan
masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan metode
pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk
mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran, b) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu
digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari
penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip ke 2 Pembelajaran matematika
Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa.
- Self development models ( model – model dibangun sendiri)
Menurut
prinsip ketiga, model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan
pengetahuan informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa
diberi kebebasan untuk menemukan sendiri model matematika terkait dengan
masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan
mucul berbagai model matematika yang dibangun siswa. Berbagai model tersebut
pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan
langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan bahwa sifat
bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model – model tersebut diharapkan
untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika yang formal.
Sesuai
dengan ketiga prinsip di atas, proses pembelajaran matematika di kelas
berdasarkan pendekatan matematika realistik (PMR) perlu memperhatikan lima
karakteristik yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual; (2) menggunakan
model; (3) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (4) interaktif; dan (5)
terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Dalam
pendekatan PMR, isi perangkat pembelajarannya mencerminkan tiga prinsip kunci
PMR, dan proses implementasinya di kelas berpedoman pada 5 ciri yang disebutkan
di atas.
2.3 Implementasi Pendekatan
Realistik dalam Pembelajaran Matematika di SD/MI
Sebelum kita mengimplementasikan pendekatan matematika realistik, marilah
kita terlebih dahulu melihat kembali karakteristik pendekatan ini. Di sini kita
akan menggunakan 5 (lima) karakteristik utama pendekatan matematika realistik
sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika. Kelima karakteristik
itu adalah sebagai berikut:
1)
Pembelajaran
harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik
awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat
dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka.
2)
Dunia abstak
dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan tingkat
abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model dapat berupa keadaan atau
situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti cerita-cerita lokal atau
bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model dapat pula berupa
alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.
3)
Siswa dapat
menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses mematematikakan
dunia mereka. Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil
kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru.
4)
Proses
pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa maupun
antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran
matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan siswa lain,
bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan mereka.
5)
Hubungan di
antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan
masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait
mengait dalam penyelesaian masalah
Uraian di atas jelas
menggambarkan langkah-langkah pembelajaran matematika realistik. Secara umum
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai
berikut (lihat Zulkardi, 2002)[10]:
1.
Persiapan
Selain menyiapkan masalah
kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai
macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
2.
Pembukaan
Pada bagian ini siswa
diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada
masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah
tersebut dengan cara mereka sendiri.
3. Proses pembelajaran
Siswa mencoba berbagai
strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat
dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan
siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau
kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan
sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan
aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
4. Penutup
Setelah mencapai kesepakatan
tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan
dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal
evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Sekarang marilah kita
perhatikan contoh bagaimana langkah-langkah ini diterapkan dalam sebuah
pembelajaran matematika. Misalnya, topik yang akan diajarkan adalah bilangan
pecahan. Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam topik ini adalah
”menjelaskan arti pecahan dan membandingkannya.” Kita dapat menggunakan kue
yang berbentuk bulat dan tipis, seperti serabi, atau kertas berbentuk lingkaran
yang sama besar.
.
1. Persiapan
Sebagai persiapan, guru
mempelajari terlebih dahulu arti pecahan dan cara mengurutkannya. Setelah
menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai untuk memulai pembelajaran,
guru menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Di sini kita akan menggunakan
masalah membagi kue serabi, sehingga guru harus menyediakan beberapa lembar
kertas berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai model kue serabi.
Selanjutnya guru menyiapkan skenario pembelajaran yang akan digunakan di kelas.
Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam kegiatan pembelajaran
sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini, sehingga guru bisa mengendalikan
proses pembelajaran di kelas.
2. Pembukaan
Pada awal pembelajaran, guru
menceritakan kepada siswa bahwa seorang ibu ingin membagi 3 potong kue serabi
kepada 4 orang anaknya sedemikian rupa sehingga setiap anak mendapat bagian
yang sama. Setelah itu, guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok
dengan anggota masing-masing 4 orang. Setiap kelompok diberi 3 lembar kertas
berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai model kue serabi dan sebuah
gunting, lalu diminta membagi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran itu di antara
mereka sehingga setiap anggota menerima bagian yang sama besar. Guru memberi
waktu kepada setiap kelompok untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara
mereka sendiri. Setelah waktu yang diberikan habis, setiap kelompok diberi
kesempatan untuk menyajikan cara yang mereka tempuh untuk menyelesaikan
masalah, sedangkan kelompok lain memberi kritik dan saran. Kemudian siswa
dikelompokkan menjadi kelompok dengan anggota masing-masing 5 orang dan diminta
membagi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran menjadi lima bagian yang sama
seperti sebelumnya. Lalu siswa diminta membandingkan potongan mana yang lebih
besar (3 lembar kertas berbentuk lingkaran dipotong 4 atau dipotong 5).
3. Proses pembelajaran
Pada saat pembelajaran
berlangsung guru hanya memperhatikan kegiatan setiap kelompok membagi ”kue”
yang diberikan dan memberi bantuan jika diperlukan. Kemudian guru memberi
kesempatan kepada wakil setiap kelompok untuk menyajikan cara mereka membagi
”kue” dan kelompok lain memberi kritik dan saran. Selain itu, siswa juga
diminta mendiskusikan potongan mana yang lebih besar (”kue” yang dibagi 4 atau
yang dibagi 5). Guru mengarahkan siswa dalam diskusi
kelas untuk membuat kesimpulan bersama tentang arti bilangan pecahan dan
cara mengurutkannya.
4.Penutup
Sebagai penutup, siswa diminta
mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah yang berkaitan dengan materi
perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru mengajak siswa bersama-sama
menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan dan pelajari saat itu. Dalam
RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga
memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses
penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan sebagai
matematisasi konseptual. Melaui abstraksi dan formalisasi siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan
konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika
dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman
sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika
dalam seharihari. Untuk memberikan gambaran tentang implementasi Matematika
Realistik, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar
(SD). Pecahan di SD diinterpretasikan sebagai bagian dari keseluruhan.
Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yagn berukuran
sama. Dua macam keadan yang erlu penekanan adalah konsep keseluruhan sebagai
satuan dan konsep sama. Kedua konsep ini dapat dikaitkan dengan , panjang,
luas, volume, dan hitungan atau
cacah.Kaitan dengan konse di atas dapat ditunjukakan dengan menggunakan
benda-benda manipulatif, misalnya kertas, karton,kelereng,kerikil,manikmanik,mata
uang, buku dll.
Dalam pembelajaran realistik, sebelum
siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke “situasi”
informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi
bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan
pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan
matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama,
baru diperkenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran
konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah
pecahan dan beberapa jenis pecahan. [11]
Diberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada para siswa untuk langsung
merasakan dan menghayati sendiri makna pecahan dengan mengerjakan sendiri:
a. Mintalah
kepada setiap siswa untuk menyediakan lembaran-lembaran kertas. Masing-masing
siswa diminta mengambil kertasnya satu lembar dan melipatnya sesuai dengan
keinginan masing-masing sehingga lipatan yang satu dapat menutup lipatan yang
lain, kemudian menggunting tepi lipatan dan terjadi lembaran kertas yang
mempunyai dua lipatan yang tepat dapat saling menutup. Beberapa bentuk
guntingan diperkirakan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Beri kesempatan kepada
mereka untuk membuka dan menutup lipatan kertas masing-masing mereka merasakan
bahwa satu lembaran kertas mempunyai dua lipatan yang sama, yaitu lipatan yang
satu tepat menutup lipatan yang lain. Katakan kepada mereka 1 lipatan dari 2 lipatan yang sama
disebut setengah atau seperdua,
ditulis dengan lambang pecahan .
b. Mintalah setiap siswa
untuk melipat kembali satu kali kertasnya,dengan jalan melipat garais lipatan
sehingga tepat berhimpitan. Kemudian mintalah mereka memotong tepi lembaran
kertas yang bukan lipatan. Beberapa bentuk lipatan antara lain adalah: Gambar 2.2
Gambar 2.3
c. Untuk
lebih memantapkan pemahaman mereka, sediakan banyak potongan karton dengan
berbagai warna dan bentuk, misalnya:
Gambar 2.4
Berilah kesempatan kepada semua siswa
untuk memilih sendiri bentuk dan karton yang disukainya, kemudian mintalah
kepada masing-masing siswa untuk menjiplaknya pada lembaran kertas yang mereka
miliki. Setelah ini, mintalah kepada mereka menggunting jiplakannya, dan
melipatnya sedemikian hingga lipatan yang pertama dapat menutup lipatan yang
kedua. Berikan kesempatan sejumlah siswa untuk menceritakan hasil lipatannya
dan memberikan arsiran untuk menyatakan 1 lipatan dari 4 lipatan yang sama
disebut .
d. Kerjakan
hal yang serupa untuk pecahan-pecahan dan Tunjukan hasilnya dipapan tulis (sesuai
abstrak) dengan gambar-gambar daerah yang diarsir.
Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran Matematika
yang berdasarkan prinsip dan karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
adalah sebagai berikut:
Langkah
1: Memahami masalah kontekstual
Yaitu
guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kepada siswa
dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut, serta memberi kesempatan
kepada siswa untuk menanyakan masalah yang belum di pahami.
Karakteristik
Pembelajaran Matematika Realistik yang muncul pada langkah ini adalah
karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak
dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah
2: Menjelaskan masalah kontekstual
Jika
dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi
dan kondisi tentang masalah tersebut dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk
berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan
yang belum dipahami.
Langkah
3 : Menyelesaikan masalah
1) Siswa
mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek Matematika yang
ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah.
2) Siswa
bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan
awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian
siswa yang satu dengan yang lainnya.
3) Selama
siswa menyelesaikan masalah, guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan
terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah
tersebut. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik yang muncul pada langkah
ini yaitu karakteristik kedua yakni menggunakan model atau contoh.
Langkah
4 : Membandingkan jawaban
1) Siswa
membentuk kelompok ( boleh secara berpasangan dengan teman sebangkunya),
bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan
secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Dalam membentuk
kelompok yang tida secara berpasangan, namun tetap dengan mempertimbangkan
keefisiensinan waktu.
2) Selama
siswa melakukan kegiatan diskusi ini, guru mengamati dan memberi bantuan jika
dibutuhkan.
3) Setelah
diskusi selesai dilakukan, wakil-wakil kelompok menuliskan masing-masing ide
penyelesaian dan alasan dari jawabannya, dan menyampaikannya dalam forum
diskusi kelas. Guru sebagai fasilitator dan moderator mengarahkan siswa berdiskusi,
membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep atau prinsip
berdasarkan Matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik Pendekatan
Matematika Realistik yang muncul pada kegiatan ini yaitu interaksi.
Langkah
5: Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa menyusun kesimpulan belajar sampai
memperoleh hasil rumusan konsep atau prinsip dari topik atau masalah yang
dipelajari atau yang diselesaikan berdasarkan Matematika formal yakni
idealisasi dan abstraksi. Peran guru disini adalah sebagai fasilitator dan
moderator. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya
interaksi antara siswa dengan guru.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( RPP )
Mata pelajaran : Matematika
Kelas/semester : III/2
Pertemuan :
Alokasi waktu : 2 X 35 menit
A. Standar Kompetensi
Memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah
Memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah
B. Kompetensi Dasar
Mengenal pecahan sederhana
Mengenal pecahan sederhana
C. Indikator
3.1.1
Mengenal pecahan sebagi bagian dari sesuatu yang
utuh.
3.1.2 Membaca dan menulis lambang pecahan.
3.1.2 Membaca dan menulis lambang pecahan.
3.1.3 Menyajikan
nilai pecahan dengan menggunakan berbagai bentuk gambar dan sebaliknya.
3.1.4 Membilang
dan menuliskan pecahan dalam kata-kata dan dalam lambang.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa dapat
menjelaskan pecahan sebagai bagian dari keseluruhan.
2. Siswa dapat membaca
dan menuliskan lambang pecahan.
3.
Siswa dapat menyajikan nilai pecahan
dalam bentuk gambar dan sebaliknya.
4. Siswa dapat membilang dan menuliskan pecahan
dengan kata-kata dan lambang.
E.
Materi
Pokok
Pecahan
F. Metode Pembelajaran
F. Metode Pembelajaran
Inkuiri
Diskusi
Penugasan
G. Langkah-langkah Pembelajaran
G. Langkah-langkah Pembelajaran
·
Kegiatan Awal
Guru mengingatkan siswa tentang materi perkalian dan pembagian, dan memberikan apersepsi yang berkaitan dengan materi pecahan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Guru mengingatkan siswa tentang materi perkalian dan pembagian, dan memberikan apersepsi yang berkaitan dengan materi pecahan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari siswa.
·
Kegiatan Inti
a) Guru mengawali dengan memberikan contoh menggunakan benda
kongkrit (misalnya, sebungkus coklat, donat, jeruk) untuk menjelaskan konsep
pecahan sederhana.
b) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 4-5 orang. (jumlah kelompok disesuaikan dengan jumlah siswa di
dalam kelas.
c) Guru membagikan kertas hvs dan kertas warna dalam berbagai
bentuk bangun datar (persegi panjang, lingkaran, segi tiga, dan persegi);
karton, gunting; penggaris, dan lem kertas.
d) Setiap kelompok berdiskusi untuk memotong kertas yang
berwarna ke dalam beberapa bentuk bangun datar, dan kemudian membaginya menjadi
2, 3, 4, 5, dan 6 bagian.
e) Setiap kelompok memperlihatkan hasil kerja kelompoknya di
depan kelas. Kelompok yang lain memberikan komentar kepada kelompok yang sedang
memperlihatkan hasil kerja kelompoknya. (ketika kegiatan ini berlangsung akan
ada proses apersepsi pada diri siswa)
Kemudian guru menjelaskan konsep pecahan sederhana kepada siswa dengan menggunakan benda kongkrit dan hasil kerja siswa.
Kemudian guru menjelaskan konsep pecahan sederhana kepada siswa dengan menggunakan benda kongkrit dan hasil kerja siswa.
f) Guru menugaskan setiap kelompok untuk menuliskan bentuk
pecahan di setiap bagian bangun datar yang telah dipotong.
Kegiatan Akhir
Kegiatan Akhir
g) Guru mengarahkan pemahaman siswa untuk bisa menyimpulkan
materi yang telah dibahas.
h) Guru memberikan penguatan terhadap materi yang telah
diajarkan melalui kegiatan LKS.
H. Alat dan
Sumber Belajar
·
Buku paket kelas III
semester 2
·
LKS
·
Benda-benda kongkrit (Buah-buhan, donat)
·
Kertas hvs putih, warna, karton.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan
konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam
bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran
matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan
memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah
Secara
umum, prinsip-prinsip pendekatan matematika realistik terbagi menjadi 5 prinsip
utama. Lima prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik tersebut,
yaitu:
1) Didominasi
oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal, yaitu sebagai sumber dan
sebagai terapan konsep matematika.
2) Perhatian
diberikan pada pengembangan model ”situasi skema dan simbol”.
3) Sumbangan
dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif
dan produktif.
4) Interaktif
sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.
5) Intertwinning
(membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan
Ada tiga unsur prinsip menurut Gravemeijer dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided
reinvention and progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c)
self – developed models.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan
dari penulisan ini untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran realistic, kami
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1) setiap
pelajaran disekolah.
2) Diperlukan
adanya kesadaran antara pengajar dengan siswa agar pembelajaran realistik dapat
berjalan dengan baik.
3) Setiap
pengajar diharapkan menguasai bermacam-macam metode pembelajaran.
4) Diharapkan
apa yang menjadi keinginan kita sebagai praktisi pendidik dalam meningkatkan
pemahaman terhadap matemátika akan semakin mudah.
DAFTAR
PUSTAKA
Hayati,
N. 2003 Penerapan Pembelajaran Realistik
pada Pokok Bahasan Sisi dan Volum Bangun Ruang, makalah Komprehensif,
(Surabaya: Prodi Pendidikan Matematika Program Pasca Sarjana UNESA)
Permana, B.
2013. Pembelajaran Matematika
realistik: http://cahbaguz-uhuy.blogspot.co.id/
diakses tanggal 07 Desember 2015
Ruseffendi,1988. Pengantar
Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung: Trsito)
Suherman,E. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer, (Bandung:
UPI)
Suwangsih, E. 2006. Pendekatan Pembelajaran Matematika.
(Bandung: UPI)
Sri, (tidak tercantum). Matematika realistik :http://www-mtk-realistik-sd.blogspot.co.id/ diakses tanggal 07 Desember 2015
Zulkardi. (2001). Realistic
Matematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran, dan Taman Belajar di
Internet. Makalah pada seminar sehari RME di Jurusan Pendidikan
[1] Bagus Permana, 2013. Pembelajaran Matematika realistik: http://cahbaguz-uhuy.blogspot.co.id/
diakses tanggal 07 Desember 2015
[2] Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung: Trsito, 1988)h.
240
[3]
Erman
Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer, (Bandung:
UPI, 2001), h. 143
[4] Nur
Hayati, Penerapan Pembelajaran Realistik
pada Pokok Bahasan Sisi dan Volum
Bangun
Ruang, makalah Komprehensif, (Surabaya: Prodi Pendidikan Matematika
Program Pasca Sarjana UNESA, 2003) h. 8
[5]
Erna Suwangsih, 2006. Pendekatan Pembelajaran Matematika.
(Bandung: UPI) h. 135
[6]
Sri, (tidak tercantum). Matematika realistik :http://www-mtk-realistik-sd.blogspot.co.id/ diakses tanggal 07 Desember 2015
[7]
Erna Suwangsih, 2006. Pendekatan Pembelajaran Matematika.
(Bandung: UPI) h. 136
[8]
Erna Suwangsih, 2006. Pendekatan Pembelajaran Matematika.
(Bandung: UPI) h. 136
[9]
Bagus
Permana, 2013. Pembelajaran Matematika
realistik: http://cahbaguz-uhuy.blogspot.co.id/
diakses tanggal 07 Desember 2015
[10]
Zulkardi.
(2001). Realistic Matematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran,
dan Taman Belajar di Internet. Makalah pada seminar sehari RME di Jurusan
Pendidikan
[11]
Erna Suwangsih, 2006. Pendekatan Pembelajaran Matematika.
(Bandung: UPI) h. 136
Komentar
Posting Komentar