KAPITA SELEKTA PENDIDKAN PENDIDIAKN KONVENSIOANAL DAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULIAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan tolak ukur kemapanan seseorang. Selama ini pendidikan sistem
konvensional merupakan pendidikan pilihan yang laris manis bagaikan pisang
goreng. Mulai dari buruh pabrik sampai pejabat di negeri ini mengirimkan anak
mereka kesekolah dengan dalih meraih masa depan. Namun, pertentangan
pemberlakuan sistem pendidikan yang berubah-ubah menyeret pertentangan hebat
dikalangan masyarakat. Mulai dari kurikulum yang berubah setiap 4 tahun sekali
sampai pro-kontra UAN (Ujian Akhir Nasional). Pertentangan tersebut memunculkan
fenomena pemilihan pendidikan alternatif.
Masyarakat
menanggapi carut marutnya pendidikan dengan berbagai macam cara. Munculnya
sekolah unggulan berbasis kebebasan berfikir sampai homeschooling. Kita
disibukkan berita di media massa dengan berita mengenai profil sekolah
alternatif unggulan seperti, SMA ,Sekolah Alam, Akselerasi, sampai SBI (Sekolah
Berstandar Internasional). Tak kalah hebohnya para Psikolog dan praktisi
pendidikan sampai kalangan selebritis mempromosikan homeschooling. Fenomena
homeschooling melirik banyak orang untuk mengenalnya bahkan mengujicoba program
tersebut.
Homeschooling
yang berkembang di Indonesia sekarang hampir mengarah marketisasi pendidikan.
Bayangkan saja Homeschooling setingkat Sekolah Menengah Atas hampir menelan
biaya 10-20 juta perbulannya. Kemerdekaan berfikir akankah dibayar mahal
semahal itu.
Belajar di
kelas sudah menjadi rutinitas bagi setiap siswa. Belajar juga merupakan suatu
kewajiban bagi mereka yang masih menyandang status sebagai seorang pelajar.
Kegiatan belajar tidak hanya berlangsung di sekolah namun juga dapat
berlangsung di luar sekolah. Pada umumnya waktu yang dihabiskan siswa untuk
belajar di sekolah, cenderung lebih sedikit dari pada waktu yang dihabiskan di
luar sekolah. Waktu yang dihabiskan siswa di sekolah hanya 7 hingga 8 jam dari
24 jam dalam sehari, dan sisanya diisi dengan berbagai kegiatan yang dilakukan
di luar jam pelajaran sekolah. Seperti bermain, menjalankan hobi, menonton TV
dan lain sebagainya.
Kegiatan belajar yang berlangsung di
sekolah atau yang disebut dengan pembelajaran formal diatur oleh peraturan-peraturan
dari pemerintah dan memiliki kurikulum yang telah ditentukan. Kurikulum
pendidikan di Indonesia telah berganti selama beberapa kali. Kurikulum
pendidikan yang pernah diterapkan di Indonesia diantaranya adalah KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
KTSP yang berlaku di Indonesia saat ini memberikan ruang bagi guru untuk membuat
kurikulum bagi sekolahnya masing-masing. Di satu sisi kurikululum ini dapat
menjadi ruang bagi para guru yang kreatif untuk menuangkan ide-ide cemerlangnya
tentang kurikulum yang tepat untuk diterapkan dalam sistem belajar mengajar
sehingga mampu mencapai hasil belajar yang maksimal dari para siswanya. Namun
di sisi lain bagi para guru yang kurang memiliki kreatifitas, maka perkembangan
pembelajarn di sekolahnyapun akan ikut gerak jalan atau bahkan semakin menurun.
Sementara itu ujian nasional tetap
diadakan dengan tujuan pemerataan pendidikan nasional. Padahal KTSP yang
diterapkan dapat menyebabkan terjadinya ketidak merataan hasil pendidikan. SDM
guru yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di daerah bagian barat tentu saja jauh
berbeda dengan potensi atau SDM guru yang dimiliki oleh sekolah-sekolah bagian
timur, terutama daerah-daerah pelosok desa yang sekolahnya saja masih memiliki
ruang kelas yang tidak layak pakai. Hal ini menunjukan perlu dilakukan suatu
sinkroniisasi oleh pemerintah terkait dengan metode dan tujuan pencapain
pendidikan Indonesia agar tidak menyebabkan kebingungan di kalangan orang-orang
yang berkecimpung di dunia pendidikan. Semoga KTSP atau yang berupa
otonomi pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah memang bertujuan untuk
memberikan ruang yang lebih kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran di
sekolahnya dan bukan merupakan dalih pemerintah untuk lepas tangan terhadap
sistem dan hasil pendidikan di Indonesia.
Pendidikan formal cenderung
menekankan pembelajaran yang berada di dalam kelas yang disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut. Biasanya pembelajaran ini hanya
akan berjalan jika ada guru dan sekelompok siswa. Terkadang guru hanya
menyampaikan dan menjelaskan tentang berbagai materi dan teori-teori yang
sesuai dengan kurikulum. Tak jarang ada juga guru yang masuk kelas dan menuntut
siswanya untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Penyampaian materi pembelajaran ini
sebagian besar hanya bertujuan memberikan pemahaman dan pengertian tentang
suatu materi. Ada juga guru yang hanya berpatokan pada soal-soal yang
diprediksikannya akan muncul pada ujian ataupun ulangan umum.
Maka dari itu materi
pembelajaran akan lebih terbatas dan hanya berkutat dan berpatokan pada
soal-soal ujian sehingga materi yang dianggap tidak keluar pada ujian pada
akhirnya akan diabaikan, biarpun materi itu sesungguhnya penting untuk
menunjang kehidupan sehari-hari. Bagi guru yang menuntut siswanya untuk
bertanya sebanyak-banyaknya, maka para siswa hanya akan mendapatkan materi
sesuai dengan apa yang ditanyakan, tak jarang materi justru melenceng dari
topik bahasan. Alhasil pengetahuan siswa kembali hanya terbatas seputar
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saja.
B.
Tujuan
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah guna memenuhi tugas terstruktur berkelompok mata
kuliah Kapita Selekta Pendidikan . Dengan harapan lain, dapat menambah banyak
pengalaman dan wawasan kami tentunya.
C.
Perumusan Masalah
Perumusan
masalah dalam makalah ini dimaksudkan untuk memberi jawaban atas pertanyaan
berikut;
1.
Apa yang dimaksud pendidikan
Konvensional ?
2.
Bagaimana awal terbentuknya aliran
konvensionald indonesia?
3.
Bagaimana karakteristik dan bentuk
konvensional pendidikan?
4.
Bagaimana konsep atau wujud sistem
pendidikan konvensional ?
5.
Apa yang dimaksud pesantren dan sistem
pendidikan Islam?
6.
Bagaimana awal berdiri dan berkembangnya
pesantren?
7.
Bagaimana karakteristik, dan bentuk
pesantren?
8.
Bagaimana konsep atau wujud sistem
pendidikan Islam?
9.
Bagaimana proses pesantren menjadi
sistem pendidikan Islam?
10. Bagaimana
peran pesantren terhadap arus globalisasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konvensional
Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak
digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvesional.
Pembelajaran konvensional mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli,
diantaranya:
- Djamarah (1996), metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
- Freire (1999), memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank” penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal.[1]
B. Awal Terbentuknya Aliran
Konvensional
1.
Pendidikan Zaman Kolonial.
Sekolah
pendidikan di Indonesia dimulai sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan
Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh
pertimbangan ekonomi dan politik di Indonesia (Nasution, 1987;3). Pendidikan
dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat
kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk
anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas rendah. Pendidikan bagi kaum pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh
penguasa.
Masalah
lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga
pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi pendidikan
semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat
penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk
dijadikan tenaga kerja yang murah. Pendidikan yang dibuat Belanda memiliki
ciri-ciri :
a.
Gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan
bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan
yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan.
b.
Dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan,
pengadilan dari hukkum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat
terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah.
c.
Kontrol yang kuat. Pemerintah Belanda berada di bawah
kontrol Agubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja
Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak
mempunyai pengaruh langsung politik pendidikan.
d.
Pendidikan berguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan
bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga
kerja murah.
e.
Prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia
Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri
Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda.
f.
Tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan
dengan ciri-ciri tersebut hanya merugikan anak-anak yang kurang mampu.
Pemerintah Belanda lebih mementingkan ekonomi daripada pengetahuan anak-anak
Indonesia.
Pemerintah
Belanda juga membuat sekolah desa (1907). Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya murah. Tipe sekolah desa yang dianggap cocok oleh Gubernur
Jenderal Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan
agraris. Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua,
pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Pendidikan pada zaman
Belanda mempunyai catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan
sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga
dibuat dengan biaya murah, agar tidak membebani kas pemerintah.
2.
Pendidikan zaman Jepang.
Jepang
membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dengan Belanda.
Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-Cuma
(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang. Sistem
penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk
kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan
idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia bekerja sama untuk mencapai
kemakmuran bersama Asia Raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliiteran dan indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melaui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melaui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
3.
Pendidikan dalam Masa Ki Hajar Dewantoro
Di
bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan
sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan,
kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa”
dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani” (“di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari
belakang mendukung”). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan
rakyat Indonesia.
Atas
jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November
1959).
4.
Pendidikan zaman kemerdekaan hingga tahun 1967.
Perubahan
bersifat sangat mendasar menyangkut bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP
mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan supaya
cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan. Lalu pemerintah mengadakan
pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan
berbagai keterbatasan sumber daya, gedung sekolah dan guru. Kementrian P dan K
juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Jadi
kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah
untuk menanggulangi angka buta aksara dan buta pengetahuan dasar, tetapi
pendidikan kurang lebih berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan Sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.
a. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan Sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.
a. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1) Rentang
Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir
pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya
rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari
orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas
pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan
sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950.
Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang
diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
2) Rencana
Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci
setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus
mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran.
Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih
diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam
kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek
sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja
yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan
standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
3) Kurikulum
1964
Fokus kurikulum 1964 adalah
pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana).
Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada
kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam
pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi
positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.
5. Pendidikan
Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari
tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional.
Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu
loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres)
Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini
hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan
kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada
masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru
mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang
pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas
peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi
militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo
penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam
penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Depdiknas di bawah Menteri
Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana
pendidikan “link and match”sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia
pada masa itu.
1) Kurikulum
1968
Kelahiran Kurikulum 1968
bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai
produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan
manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi
materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan
dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum
1975
Kurikulum 1975 menekankan pada
tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by
objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
3) Kurikulum
1984
Kurikulum 1984 mengusung
“process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan
pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan
guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan
dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam
proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu
pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan
mendiskusikan sesuatu.
4) Kurikulum
1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil
upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975
dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan
beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
6. Pendidikan
Era Reformasi
Era reformasi telah memberikan
ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang
bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis
kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik
(orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat
UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
1) Kurikulum
Berbasis Kompetensi
Pada
pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek
dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu
pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi.
Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu
informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa
baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
·
Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual),
karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk
mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing.
·
Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi
mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan,
keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat
dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.
·
Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran
tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan
kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
2) Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh
berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam
penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah
pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah
dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan
penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
C.
karakteristik
dan bentuk konvensional pendidikan
Secara umum,
(Djamarah, 1996) menyebutkan ciri-ciri pembelajaran konvensional sebagai
berikut:
- Peserta didik adalah penerima informasi secara pasif, dimana peserta didik menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai standar.
- Belajar secara individual
- Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
- Perilaku dibangun berdasarkan kebiasaan
- Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final
- Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
- Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
- Interaksi di antara peserta didik kurang
- Guru sering bertindak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Namun perlu
diketahui bahwa pembelajaran dengan model ini dipandang cukup efektif atau
mempunyai keunggulan, terutama:
- Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain
- Menyampaikan informasi dengan cepat
- Membangkitkan minat akan informasi
- Mengajari peserta didik yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan
- Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan
kelemahan dari pembelajaran model ini, menurut Suyitno (dalam Sulistiyorini,
2007) antara lain sebagai berikut:
- Kegiatan belajar adalah memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik. Tugas guru adalah memberi dan tugas peserta didik adalah menerima.
- Kegiatan pembelajaran seperti mengisi botol kosong dengan pengetahuan. Peserta didik merupakan penerima pengetahuan yang pasif.
- Pembelajaran konvensional cenderung mengkotak-kotakkan peserta didik.
- Kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada hasil daripada proses.
- Memacu peserta didik dalam kompetisi bagaikan ayam aduan, yaitu peserta didik bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat dia yang menang.[2]
D.
konsep atau
wujud sistem pendidikan konvensional
Sistem pembelajaran yang selama ini
dilakukan mayoritas masih menggunakan sistem pembelajaran konvensional (faculty
teaching) yang biasa disebut ceramah murni atau ceramah dengan
menggunakan alat bantu white board (papan tulis), yang kental dengan
suasana instruksional dan dirasa kurang sesuai dengan dinamika perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat (Dabutar, 2008 : 2). Sistem
pembelajaran konvensional kurang fleksibel dalam mengakomodasi perkembangan
materi kompetensi karena pendidik harus intensif menyesuaikan materi, selain
itu dalam sistem konvensional selalu ada peserta didik yang mengantuk
atau malah tertidur dalam kelas, ada juga yang suka membolos hal ini
dikarenakan suasana belajar yang membosankan.
Kejadian semacam ini adalah wajar,
karena menurut Petersen (2004:3), dalam proses belajar mengajar seorang
pendidik menghadapi banyak peserta didik yang masing-masing mempunyai
kepribadian, potensi, latar belakang kehidupan, serta masalah belajar yang
berbeda tiap peserta didik. Dengan demikian peserta didik dalam menerima dan
memahami uraian dari seorang pendidik juga mengalami perbedaan pula sesuai
dengan kemampuan daya serap masing-masing. Ada yang cepat menerima dan memahami
materi yang disajikan, ada pula yang lambat bahkan ada pula yang sangat lambat
sekali, dan tidak menutup kemungkinan ada juga yang tidak dapat memahami walaupun
dijelaskan pendidik.
Upaya pendidik untuk berinovasi
dalam mengajar sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai “gaya belajar”
peserta didik, pendidik dituntut tidak hanya menggunakan satu metode mengajar
tapi berbagai metode yang dipadukan sehingga setidaknya dapat mengakomodir
berbagai “gaya belajar” peserta didik. Seperti penggunakan metode ceramah
dengan didukung oleh penggunaan media pembelajaran berbasis komputer, sehingga
kreativitas pendidik dalam mengajar sangat diperlukan.
Menurut Mursell & Nasution
(2006:11-12), cara mengajar yang konvensional atau tradisional seperti bahan
pelajaran dibagikan dan peserta didik ditugaskan untuk mempelajari yang
kemudian pendidik menyampaikan kembali di kelas membuat peserta didik belajar
dengan cara yang sangat tidak efisien, peserta didik tidak sanggup membaca
dengan suatu tujuan khas, tidak sanggup menilai apa yang dipelajari, tidak
sanggup menggunakan teknik matematis atau ilmiah, tidak sanggup menyusun fakta
dan mengambil kesimpulan, karena mereka tidak memperoleh hasil belajar yang
autentik.
Selain itu dalam pembelajaran
konvensional, komunikasi yang terjadi satu arah, peserta didik pasif, peserta
didik hanya menggunakan satu alat indra yaitu pendengaran, peserta didik tidak
diharuskan berpikir dan mengutamakan hapalan (Nasution,1999:80). Padahal
menurut Marjono (2008:1), kemampuan menerima pesan yang paling tinggi adalah
perpaduan indera pendengaran dan indera penglihatan. Sehingga dengan
menggunakan alat bantu media pembelajaran berbasis komputer yang memadukan
indra penglihat dan pendengar dalam proses penerimaan pesan peserta didik dapat
dengan mudah mengikuti pelajaran dan rasa jenuh yang dihadapi dapat dikurangi.
Proses pembelajaran yang didominasi
dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin
untuk menghadapi ujian, dimana peserta didik harus mengeluarkan apa yang telah
dihafalkannya. Kondisi ini sangat bertentangan dengan kondisi spikologis
peserta didik dimana proses transfer pengetahuan bakal efektif jika melalui “gaya
belajar” peserta didik sendiri. Oleh karena itu, gaya mengajar pendidik harus
disesuaikan dengan gaya belajar peserta didik tersebut. Hal ini pun sejalan
dengan pendapat Sudjana (2005:40), bahwa peserta didik adalah insan yang aktif
serta perlu diperdayakan untuk berpartisipasi penuh dalam penentuan dan
pembentukan cara belajarnya. Tetapi kenyataannya, dalam pembelajaran di kelas
justru sebaliknya, peserta didik harus susah payah menyesuaikan dengan gaya
mengajar pendidik. Akibatnya peserta didik cenderung tertekan dan belajar dalam
kondisi yang tidak menyenangkan (Wibowo, 2008:34-35).
Selain itu menurut Rachman
(2006:32), tidak jarang ditemukan tenaga pengajar yang memaksakan kehendaknya.
Anak dipaksa untuk mengerjakan, untuk belajar atau untuk mencapai target nilai
tertentu. Sikap tenaga pengajar yang seperti ini tidak hanya membuat anak akan
menjadi tertekan tapi juga akan membuat anak berpikir bahwa belajar adalah
kewajiban bukan kebutuhan.[3]
Sedangkan menurut Philip R. Wallace, pendekatan
pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi muri-muridnya.
- Perhatian kepada masing-masing individu atau minat sangat kecil
- Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
- Penekanan yang mendasar adala pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa terabaikan.[4]
Jika dilihat dari tiga jalur
modus penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran konvensional
lebih sering menggunakan modus telling (pemberian informasi),
ketimbang modus demonstrating (memperagakan), dan doing direct
performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara
langsung). Dalam kata lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau metode
ceramah atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara ketat.
Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dair
ketuntasannya menyampaikan seluruh meteri yang ada dalam kurikulum.
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaklumi sebagai pendekatan
pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu
arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih pada penguasaan
konsep-konsep bukan kompetensi.[5]
Seorang guru dituntut untuk
menguasai berbagai model-model pembelajaran, dimana melalui model pembelajaran
yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah
hasil belajar yang optimal atau maksimal.
Memang, model pembelajaran
konvensional ini tidak harus kita tinggal, dan guru mesti melakukan model
konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidaknya pada awal proses
pembelajaran dilakukan. Atau kita memberikan kepada anak didik sebelum kita
menggunakan model pembelajaran yang akan dipergunakan.[6]
E.
Definisi Pesantren, dan Sistem Pendidikan Islam
1.
Pesantren
Pesantren,
secara bahasa berasal dari kata ‘santri’ yang kemudian diimbuhi imbuhan ‘pe’ di
depan dan imbuhan ‘an’ di belakang, sehingga menjadi pesantrian, dan menjadi
pesantren. yang berarti menunjukkan kata tempat bagi para santri (Prof.
DR. H. Samsul Nizar,M.AG, Sejarah Pendidikan Islam, 2011).
Kuttab, demikian salah satu istilah
yang diperkenalkan oleh pendiri-pendiri awal pesantren. Berasal dari bahasa
Arab, yakni kuttaabun kataatiibun. Berarti, sekolah permulaan, tingkatan
sekolah awal atau rendah. Ini merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam
yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah
(wetonan), dan berkembang pesat karena didukung oleh iuran masyarakat serta
adanya aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh guru dan murid.
(Dr. Abd. Mujib, M.Ag dan Dr. Jusuf Mudzakir, M.SI., Ilmu Pendidikan Islam,
2006).
Selain
itu, dalam bahasa arab pesantren sering disebut dengan istilah ma’had ) معهد ج معاهد ( yang berarti perkumpulan, tempat pendidikan (Prof. DR. Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 1972).
Sementara
menurut Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara non-klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok
(asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, maka dalam pesantren tersebut
setidaknya ada unsur-unsur; kiai, santri, masjid , kitab klasik, dan pondok.
- Sistem Pendidikan Islam
Dari segi
terminologi, sistem berarti satu kesatuan unsur yang bekerja sesuai fungsinya
masing-masing dalam suatu wadah atau badan.
Dapat
kita tarik pengertian dari sistem pendidikan islam, yakni satu kesatuan unsur
yang terdapat dalam wadah yang melaksanakan kegiatan pembelajaran dan
pengajaran ajaran agama Islam yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi-pribadi
insan kamil.
F.
Awal
Berdiri Dan Berkembangnya Pesantren
Secara
historis, kelahiran pesantren tidak lepas dari kehadiran kerajaan Bani Umayyah
yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan pesat sehingga penyebarannya
sampai di Indonesia. Ketika Islam mulai masuk di Indonesia, maka mulai masuk pula
dakwah dan pembelajaran-pembelajaran Islam yang dilaksanakan di masjid-masjid,
atau langgar. (Dr. Abd. Mujib, M.Ag dan Dr. Jusuf Mudzakir, M.SI., Ilmu
Pendidikan Islam, 2006).
Dalam
dakwah dan ta’lim tersebut, para penganjur agama mendekati masyarakat
dengan cara persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama
Islam. Dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau dan langgar, secara
bertahap pengajian umum tentang baca tulis Quran dan pengetahuan keagamaan
mulai berlangsung. Dari sinilah, kemudian pengajaran dan dakwah ini lambat laun
melembaga menjadi pesantren. Dalam proses yang sangat panjang pesantren menjadi
lembaga pendidikan par-excellence di Indonesia dan menghadapi banyak
tantangan modernisasi. Lembaga pesantren melaksanakan pendidikan bagi umat
Islam diperkirakan mulai dari abad ke-13 dan mencapai perkembangannya yang
signifikan pada abad ke-18 (DR.H. Abuddin Nata, MA: 2003).
Tidak berhenti sampai di situ, santri-santri lulusan pesantren pada saat itu
melanjutkan upaya mempelajari ajaran agamanya dengan melakukan perjalanan jauh
sampai di Timur Tengah, sebagai tanah sumber penyebaran agama Islam pertama.
Sehingga jadilah mereka memperoleh wawasan baru, pengalaman, dan inspirasi
hasil dari gerakan modernisasi pendidikan di Timur Tengah, sekaligus mereka
menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia.
Kemudian, mengenai bagaimana pesantren lahir adalah hasil dari proses interaksi
Islam dengan budaya lokal pra-Islam. Yakni, akulturasi yang terjadi antara
Islam dengan budaya asli, indigenous culture. Sehingga akhirnya,
muncullah pesantren yang termasuk model pendidikan awal (Islam) di Indonesia
yang sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di
masyarakat (DR. M. Roqib).
Dalam perkembangan pendidikan Islam dan modernisasi di berbagai lini kehidupan,
pesantren menjawab dengan pembaharuannya. Yakni suatu upaya atau proses
perubahan yang dilakukan secara mendasar dengan tujuan untuk menjadi lebih baik
atau sempurna dalam sistemnya.
Upaya yang dilakukan para pengelola pesantren untuk senantiasa bertahan dan
menampung dinamika masyarakat, khususnya umat Islam, maka langkah yang diambil
adalah menentukan arah pembaharuan itu sendiri. Untuk menentukan arah
pembaharuan, paling tidak ada tiga paradigma yang digunakan, antara lain; a.
Pengelola yang selalu menerima (akomodatif) dengan pembaharuan, b. Pengelola
yang menolak sama sekali perubahan apapun, dan yang terakhir adalah c. Yang
selalu hati-hati dan sangat selektif menerima pembaharuan.
- Aspek-aspek pembaharuan di dunia pesantren
Pembaharuan
yang dilaksanakan di pesantren mengarah pada dua aspek: aspek yang menyangkut
materi kurikulum dan aspek yang berkaitan dengan metodologi pengajaran dan
pendidikan. Sementara filosofi dasar pesantren itu sendiri tetap pada tafaqquh
fi d dien, pendalaman pemahaman dalam hal agama.
Secara
historis, pembaharuan di dunia pesantren pada masa pasca kemerdekaan
menunjukkan perubahan yang multi-dimensional. Bila pada masa pra-kemerdekaan
masih mengacu pada revisi kurikulum dengan memasukkan pelajaran dan
keterampilan umum metodologi pengajarannya, maka pada masa kemerdekaan semakin
kompleks, yakni mengarah ke bidang institusi dan fungsi. Sebagai contoh
pergeseran pada fungsi menejemen terdapat pada sistem menejerial pesantren.
Jika sebelumnya pesantren dipimpin oleh seorang kyai, maka pada Orde Baru ada
juga pesantren yang ditangani oleh beberapa pihak semacam yayasan atau lembaga.
Selain
itu, contoh pergeseran fungsi pesantren itu sendiri adalah dari yang sebelumnya
berfungsi sebagai sarana dakwah atau transfer ilmu-ilmu agama, kemudian menjadi
lebih luas pada fungsi basis kekuatan jihad dan pengembangan masyarakat (fungsi
pelestarian dan lingkungan hidup).
- Tahapan pembaharuan di pesantren
Dilihat
secara kronologis, tahapan lahirnya pesantren mulai dari perintisan sampai
adanya modernisasi dikelompokkan pada tujuh tahap;
1) Tahap rintisan awal
Pada tahap ini, pengajaran alQuran dan praktik ibadah dilakukan dengan
sederhana dan oleh sang kyai sendiri. Dan biasanya para santri adalah anak-anak
tetangganya sendiri.
2)
Tahap
peralihan
Pada masa ini, pengajaran alQuran
dan pengajian sudah tidak mungkin di-handle oleh kyai seorang diri. Karenanya,
ia membutuhkan tangan-tangan untuk membantunya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman
yang semakin beragam.
3)
Tahap
formalisasi
Faktor jumlah santri yang semakin
meningkat, dan terus demikian, akhirnya dibutuhkan organisasi yang lebih besar
dari sebelumnya untuk mengontrol dan membagi tugas.
4)
Tahap
konsolidasi
Tahap ini disebut juga dengan
tahap pemantapan. Karena dalam tahap ini pesantren sudah terorganisasi lebih
baik, ditandai dengan teraturnya sistem pendidikan dengan peraturan yang rinci
dan jelas, jadwal pelajaran yang rapi dan memiliki pendidikan tingkat lanjutan
atau pendidikan berkelanjutan.
5)
Tahap
legitimasi
Berarti pesantren berupaya
memenuhi syarat legal atau hukum dalam rangka perluasan pengembangan sehingga
memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan yang makin beragam dan menjangkau
lebih luas pelayanannya untuk masayarakat.
6)
Tahap
diversifikasi
Yaitu penganekaragaman
jenis-jenis kegiatan dan pelayanan yang bisa dilakukan, baik sebagai realisasi
dan fungsi keislaman maupun kemasyarakatan. Contoh, pesantren melaksanakan
pusat kesehat masyarakat, unit-unit usaha pesantren, sosialisasi teknologi
tepat guna, latihan keterampilan bagi santri, training leadership dengan
berorganisasi dan berbagai bentuk lainnya, yang mana menunjukkan bahwa
pesantren telah melampaui batas-batas pengertian yang selama ini dianut
kebanyakan orang.
7) Tahap Desentralisasi
Desentralisasi di sini dapat
ditafsirkan pula dengan proses demokratisasi, di mana kyai menjadi pusat
otonomi dan memberikan wewenangnya kepada delegasi yang ia percaya untuk
mengemban beberapa urusan teknik operasional, pengelolaan.
Demikian
tahap dari proses perkembangan pesantren. Namun begitu, tidak semua pesantren
melalui semua tahap tersebut. Dengan alasan, mereka memiliki paradigma mereka
masing-masing untuk melakukan perubahan tersebut sejauh mana, tidak semua serba
diterima. Adapula pesantren yang berupaya menjaga nilai-nilai tradisional,
religius, dan nilai-nilai moral yang harus ditegakkan sepanjang masa.
G.
Karakteristik
Dan Bentuk Pesantren
Karakteristik
pesantren secara umum di antaranya;
- Dilihat dari segi materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai
lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren fokus mengajarkan agama,
sedangkan mata pelajaran atau kajiannya adalah kitab-kitab berbahasa Arab
(kitab kuning). Contoh; al Quran dengan tajwid dan tafsirnya, ‘aqa-id, ilmu
kalam, fiqih, ushul fiqih, hadits dengan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan
ilmu alatnya, tarikh Islam, mantiq, dan tasawwuf.
Selanjutnya,
metode pengajaran yang umumnya digunakan;
1)
Wetonan,
yakni suatu metode mengajar di mana santri duduk mengelilingi kyai yang
menerangkan pelajaran. Di Jawa Barat disebut bandongan, sedangkan di Sumatera
disebut halaqah.
2)
Sorogan,
merupakan metode yang dilakukan dengan individual, secara bergantian santri
menghadap kyai dengan membawa kitabnya dan membacakannya di depan kyai. Meski
metode ini terbilang sulit karena butuh waktu lebih dan kesabaran lebih, namun
secara efektifitas ini cukup berhasil dikarenakan santri memiliki kesempatan
lebih untuk berdiskusi atau bertanya langsung dengan kyai.
3)
Hafalan,
adalah metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab
yang dipelajarinya.
- Dilihat dari jenjang pendidikan
Mengenai
jenjang pendidikan, pesantern memiliki kebijakan mereka masing-masing. Jika
pesantren yang benar-benar tradisional, jenjang pendidikan ditentukan dengan
tamat atau mumtaznya santri merampungkan satu kitab dan meningkat pada kitab
berikutnya.
Sementara
pesantren dengan kebijakan yang mengikuti perkembangan sistem pendidikan yang
ada, ia menyesuaikan jenjang pendidikan dengan menggunakan klasikal,
sebagaimana madrasah atau sekolah umum lainnya.
- Fungsi pesantren
Beberapa
fungsi pesantren antara lain; sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan
penyiaran keagamaan.
Sebagai
lembaga pendidikan, jelas pesantren menyelenggarakan pendidika formal.
Sebagai lembaga sosial pesantren menampung anak-anak muslim dari segala lapisan
masayarakat tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari
masyarakat umum dengan motif dan tujuan bermacam-macam. Sebagai lembaga
penyiaran agama Islam, masjid pesantren berfungsi sebagai masjid umum di mana
menjadi tempat belajar agama dan ibadah para jamaah.
Di
samping itu, pada masa kolonial Belanda pesantren juga mempunyai peran besar
dalam melawan ekspansi politik imperialis, baik dengan perlawanan dari segi
fisik, maupun pemikiran. Lebih dari itu, pesantren menjadi tempat pengobar
semangat jihad mengusir penjajah dari Indonesia.
- Kehidupan kyai dan santri
Awal
berdirinya pesantren adalah dari seorang kyai yang bermukim di suatu tempat,
dan santri datang sedikit demi sedikit untuk belajar padanya, sementara biaya
hidup disediakan bersama-sama oleh santri dengan dukungan masyarakat.
Hal ini
menunjukkan kedekatan antara kyai, santri dan masyarakat yang sangat baik.
Keberadaan kyai yang menjadi tempat bertanya, dan dihormati masyarakat ini pun
menjadikan ia memiliki peran cukup besar di wilayahnya, di mana masyarakat
menanyakan solusi urusan mereka, fatwa dan referensi kepadanya.
Sementara
corak atau jenis pesantren dilihat dari segi proses transformasi, dibedakan
menjadi;
1)
Pesantren
tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nila-nilai
tradisonalnya. Tidak mengalami transformasi yang signifikan dalam sistem
pendidikannya.
2)
Pesantren
moderat, yakni pesantern yang menggunakan atau mengadopsi sistem pendidikan
modern, akan tetapi tidak sepenuhnya demi mempertahankan nilai tadisionalnya.
3)
Pesantren
modern, transformasi yang cukup signifikan terjadi pada pesantren ini. Di
mana sistem pendidikan dan kelembagaannya sudah sepenuhnya menganut
sistem modern. Mata pelajaran sudah sama antara umum dan agama.
Indonesia merupakan
negara dengan banyak kebudayaan, dan pesantren termasuk salah satu budaya
Indonesia, atau subkultur Indonesia yang turut memberikan warna unik.
H.
Konsep Sistem
Pendidikan Islam
Pendidikan
merupakan salah satu pilar kehidupan umat. Masa depan suatu umat bisa diketahui
melalui sejauh mana komitmen umat ataupun negara dalam menyelenggarakan
pendidikan yang berkualitas. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan upaya
sadar, terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia
sebagai khalifatullah fil ardl - wakil Allah di muka bumi,
di mana pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem
kehidupan Islam.
“Sebagai bagian integral dari sistem Kehidupan Islam, sistem pendidikan
memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau
lingkungan, serta negara. Dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem
tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain
adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa),
manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar
dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian
dan biaya pendidikan,” kata Bayan.
Secara garis besar, problematika pendidikan tidak bisa terlepas dari sub-sistem
yang membentuk sistem pendidikan serta ketiga suprasistem yang memberi masukan
kepada sistem pendidikan, ujar Bayan. Semua unsur ini ibarat setali tiga mata
uang, artinya tidak bisa dilepaskan satu persatu untuk mewujudkan sistem
pendidikan yang ideal sebagai salah satu pilar kehidupan umat. Orang tua yang
saleh dengan pola pengasuhan yang baik, kemudian kondisi institusi negara yang
mendukung serta penciptaan lingkungan yang positif akan membentuk generasi
insani yang bermutu sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban
Islam.
“Di mana ketika Islam berjaya, diterapkannya Islam dalam sistem kehidupan termasuk
pendidikan, umat Islam mengalami masa kejayaan pendidikannya. Pendidikan dalam
Islam diselenggarakan dengan asas akidah Islam dalam penentuan kurikulum,
pengelola dan pengajar serta kultur pendidikan. Tujuannya adalah untuk
membentuk kepribadian Islam yang menguasai tsaqafah Islam
serta sains dan teknologi. Sarana dan Biaya menjadi tanggung jawab negara,”
ujar Bayan selanjutnya.
I.
Proses
Pesantren Menjadi Sistem Pendidikan Islam
Umat beragama dan lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan
modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa serta merupakan potensi
nasional untuk pembangunan fisik materil bangsa Indonesia. Pendidikan agama
tidak dapat diabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini sesuai
dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberhasilan pembangunan nasional harus ditunjang dengan pendidikan dan
pengajaran agama. Dengan pendidikan dan pengajaran agama, warga negara akan
memperoleh pendidikan moral dan budi pekerti yang akan membentuk bangsa
Indonesia menjadi warga negara yang bermoral, bertanggung jawab, dan tahu
nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Dengan modal jiwa yang bersih, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan berbudi pekerti luhur, pembangunan nasional Indonesia dapat berjalan sukses
dan lancar. Akan tetapi, pendidikan agama tidak boleh bertentangan dengan pembangunan
nasional. Semua bentuk pendidikan di Indonesia harus berdasarkan pada filsafat
bangsa, Pancasila. Sistem ini dikenal dengan sistem pendidikan nasional
Indonesia. Semua tujuan pendidikan di Indonesia tidak boleh menyimpang dari
ketentuan dan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
ketentuan umum dijelaskan sebagai berikut:
”Sistem
Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Sedangkan untuk kemudahan layanan pendidikan, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga merincikannya yang
termaktub dalam Pasal 11 Ayat (1):
“Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi”
Atas dasar inilah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin
berlangsungnya pelaksanaan pendidikan, dengan tidak membedakan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama. Hal ini diperjelas lagi dalam Ayat (2)
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional:
“Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan
bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”
Pesantren telah memberikan tanggapan positif terhadap pembangunan nasional
dalam bidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolah-sekolah umum maupun
madrasah-madrasah di lingkungan pesantren membuat pesantren kaya diverifikasi
lembaga pendidikan dan peningkatan institusional pondok pesantren dalam
kerangka pendidikan nasional.
Pemerintah memberikan wewenang penuh kepada Departemen Agama (Kementerian
Agama) Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di Madrasah
dan Pondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan pengembangan
sumberdaya manusia. Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu
lembaga pendidikan agama tersebut.
Pemerintah memiliki perhatian melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam peraturan pemerintah
tersebut dijelaskan eksistensi pesantren dalam pasal 26, sebagai berikut:
“(1) Pesantren menyelenggarakan
pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT,
akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan,
pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam
(mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian
untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan
pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada
jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau
pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau
pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmuagama tetapi tidak
memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik matapelajaran/kuliah
pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yangmemerlukan,
setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Dalam ayat (3) ini memberikan pengakuan terhadap
alumni pesantren untuk menjadi pendidik dalam mengajarkan ilmu agama pada semua
jalur, jenjang dan jenis pendidikansetelah mendapat pengakuan melalui uji
kompetensi yang sesuai dengan ketentuan yangberlaku. Pengakuan terhadap ini
tentu melalui pengakuan surat bukti menamatkan pendidikandi pesantren atau
ijazah/syahadah. Untuk itu, Direktorat Jenderal Kelembagaan
Islammengeluarkan surat edaran tentang legalisasi ijazah pesantren. Salah satu
butir isi surat edaranini adalah tentang mata pelajaran yang harus dipenuhi
pesantren agar ijazah lembagapendidikan ini diakui keabsahannya. Surat edaran
ini menjadi petunjuk teknis (juknis) bagipesantren tentang tatacara pemberian
sertifikat/ijazah bagi para santri yang menamatkanpendidikannya di pesantren.
Mata Pelajaran yang harus dipenuhi pesantren untuk legalisasiijazah, yaitu
tingkat Ibtidaiyah meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Fiqih, Akhlak, Nahwu, Sharaf,
serta Pelajaran pendukung lain. Tingkat Tsanawiyah meliputi: Al-Qur’an, Tauhid,
Fiqih,Akhlak, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Tajwid, serta Pelajaran pendukung
lain. Tingkat Aliyahmeliputi Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadis, Ilmu Hadis, Fiqih, Ushul
Fiqih, Tauhid, Nahwu, Sharaf,Tarikh, Balaghah, serta Pelajaran pendukung
lain.
J.
Peran Pesantren
dalam Era Globalisasi
1)
Pengenalan
Gontor
Gontor adalah sebuah lembaga pendidikan yang berbasis pada sistem pesantren.
Berada di daerah Mlarak, Ponorogo, Jawa Timur. Gontor berasal dari kata “Nggon”
yang artinya tempat dan kata “Tor” yang artinya kotor, jadi gontor adalah
tempat yang kotor. Dinamakan demikian karena pada zaman dahulu sebelum
didirikannya Pondok Pesantren Darussalam Gontor, tempat tersebut digunakan
sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang melakaukan kejahatan dan maksiat,
dari penjahat, perampok, dan pencuri, namun setelah kedatangan “Tri Murti” 3
orang laki-laki yang telah lulus menempuh pendidikan di beberapa daerah, tempat
itu kemudian berubah menjadi tempat mengaji, dengan di bangun surau kecil. Tri
Murti itulah yang kemudian menjadi cikal bakal dari pimpinan pesantren. Semakin
lama semakin dikenal masyarakat dan banyak yang sudah tak asing lagi.
2)
Gontor
dan Globalisasi
Dengan adanya hubungan kerjasama dan konsolidasi serta pemberdayaan Sumber Daya
yang ada di Gontor yang menyangkut penguatan sikap inklusif rekonsolatif dalam
menghadapi globalisasi yang muncul. Gontor mencoba menguatkan jaringan
yang baik dalam tataran nasional maupun internasional. Penguatan jaringan
tersebut berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan pesantren ini dapat
memiliki jaringan yang terpadu secara internal dan pada saat yang sama
mempunyai hubungan dengan organisasi, kelompok-kelompok civil society, dan
lembaga swadaya masyarakat dunia maupun lingkungan yang lebih luas.
3)
Dampak
/ Pengaruh Globalisasi Terhadap Pesantren
NO
|
Dampak/respon
terhadap Globalisasi
|
Program
|
1
|
Dalam penggunaan bahasa
|
Pengunaan bahasa Arab dan
Inggris sebagai bahasa pengantar dan bahasa sehari-hari.
|
2
|
Ekstrakurikuler
|
Pengiriman kontingen pada
event-event tertentu, misal : jambore atau program studi banding, pertukaran
pelajar.
|
3
|
Event
|
Pengadaan konferensi
internasional dan kerjasama dengan berbagai negara untuk memudahkan akses ke
luar negeri, baik itu yang bersifat pemerintahan, NGO, ataupun LSM.
|
4
|
Pengajaran
|
Menggunakan 3 bahasa, Arab,
Inggris dan Indonesia serta ketentuan skripsi dengan 2 bahasa asing.
|
5
|
Budaya
|
Pagelaran, seni yang menunjukan
adanya perpaduan/hibridasi budaya dari negara lain.
|
6
|
Kerjasama
|
Kerjasama dengan beberapa
negara, MOU, seperti India, Mesir, Pakistan, dan Australia dalam memajukan
eksistensi Pesantren dan lembaga pendidikan di dalamnya.
|
4)
Peran Pondok Modern Darussalam
Gontor dalam Menghadapi Globalisasi
Dalam konteks mempersipakan anak
didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi ini pun lembaga pendidikan
islam memiliki peran yang amat penting. Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan
anak didik menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akan
menghasilkan lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat,
danpemimpin bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini.
Sebaliknya kegagalan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan
masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang frustasi, dan menjadi beban
masyarakat.
Madrasah/pesantren yang hanya
menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan
mampu memberikan potensi untuk bahagia akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era
globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, pesantren
harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang
mereka masuki. Ini di maksudkan agar lulusan pesantren tidak akan terpinggirkan
oleh lulusan sekolah umun dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan
pembangunan bangsa.
Dalam kasus ini Pondok Modern
Darussalam Gontor harus menyiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi
atau bekerja di luar negeri. Untuk ini maka penguasaan ketrampilan
berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula
pengenalan budaya dan bangsa asing.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Keberhasilan teori belajar mengajar
jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa
rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya.Menurut
aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik
tersebut.Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi
oleh lingkungan. Menurut aliran naturalisme menitik beratkan pada strategi
pembelajaran bahwa kemampuan individu peserta didik menjadi pusat kegiatan
proses belajar mengajar. Menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan
bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling mempengaruhi.
Ketika aliran-aliran pendidikan,
yakni empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi, dikaitkan dengan
teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan
(nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan empirisme dan
nativisme adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah.
Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas
sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta
didik dalam kegiatan belajarnya.
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara non-klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok
(asrama) dalam pesantren tersebut. Sedangkan sistem pendidikan islam, yakni
satu kesatuan unsur yang terdapat dalam wadah yang melaksanakan kegiatan
pembelajaran dan pengajaran ajaran agama Islam yang bertujuan untuk mewujudkan
pribadi-pribadi insan kamil.
Lembaga pesantren melaksanakan pendidikan bagi umat
Islam diperkirakan mulai dari abad ke-13 dan mencapai perkembangannya yang
signifikan pada abad ke-18
Karakteristik ilihat dari segi materi pelajaran dan
metode pengajaran yaitu wetonan,sorogan dan hafalan. Dari segi jenjang
pendidikan yaitu jika pesantren yang benar-benar tradisional, jenjang
pendidikan ditentukan dengan tamat atau mumtaznya santri merampungkan satu
kitab dan meningkat pada kitab berikutnya.Sementara pesantren dengan kebijakan
yang mengikuti perkembangan sistem pendidikan yang ada, ia menyesuaikan jenjang
pendidikan dengan menggunakan klasikal, sebagaimana madrasah atau sekolah umum
lainnya. Dari segi Fungsi, yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan
penyiaran keagamaan.
Konsep sistem pendidikan Islam yaitu Pendidikan
dalam Islam diselenggarakan dengan asas akidah Islam dalam penentuan kurikulum,
pengelola dan pengajar serta kultur pendidikan. Tujuannya adalah untuk
membentuk kepribadian Islam yang menguasai tsaqafah Islam
serta sains dan teknologi. Sarana dan Biaya menjadi tanggung jawab negara.
Pesantren sebagai sistim pendidikan islam yaitu
Pemerintah telah memberikan porsi yang sama antara lembaga pendidikan umum
dengan lembaga pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang Republik
IndonesiaTahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diperkuat dengan
PeraturanPemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
PendidikanKeagamaan. Pesantren pada masa sekarang diharapkan menjadi agen
perubahan (agent of change) sebagai lembaga perantara yang diharapkan
dapat berperan sebagaidinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya
manusia, penggerakpembangunan di segala bidang, serta pengembang ilmu
pengetahuan dan teknologidalam menyongsong era global.
Peran pesantren dalam
arus globalisasi hendaknya dapat mengembangkan proses pendidikanya yang tak
hanya urusan akhirat atau ilmu agama tetapi dengan juga ilmu umum seperti
ketrampilan bahasa asing dan lain-lain agar tidak kalah bersaing dengan yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nizar,
Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam; Menyusuri Jejak Sejarah Pendidikan
Era Rasul Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yunus,
Mahmud. 1972. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Penerbit Mahmud Yunus Wadzuryah.
Mujib,
Abd., dan Mudzakir, Jusuf. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Nata,
Abudin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Uhbiyati,
Nur. 2005. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.III. Bandung: Pustaka Setia.
[1]
http://www.goegle.co.id,http://iyasphunkalfreth.blogspot.com
/ 2010 / 06 / perbandingan metode pembelajaran. htlm.
[3]
https://putuwidyanto.wordpress.com/2011/01/14/pembelajaran-konvensional/
[5]
http://www.google.co.id.http//warpalah
edukasi. Kompasiana.com/2009/12/20.
Komentar
Posting Komentar