Problemmatika Hadis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ditelusuri dari sejarah ternyata disamping adanya
kesepakatan dai umat Islam untuk menerima Hadits sebagai dasar Tasyri’, namun
terdapat pula pandangan problematic tentang Hadits. Bahkan ada sejumlah kecil
yang menolak Hadits sebagai dasar Syari’at Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.[1]
Pandangan –pandangan ini ada yang datang dari intern
umat Islam dan ada juga yang datang dari lingkungan ekstern umat islam yang
kadangkala juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.
Pada Abad Ii Hijriyah muncul paham yang menyimpang
dari garis Khiththah yang telah
dilalui oleh sahabat dan tabi’in yakni ada yang tidak mau menerima Hadits
sebagai Hujjah dalam menetapkan hukum. Ada pula yang tidak menerima Hadits
Ahad.
Problematika tersebut dibahas secara seksama oleh
para ulama dari berbagai keahlian ; Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, Fiqh dan
Tasawuf, terutama menggunakan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits logika
yang kuat dan fakta-fakta histories yang kuat sejak zaman Nabi SAW.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, yang menjadikan
rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apakah
ada Pemalsuan Hadits di Zaman Rasulullah ?
2. Bagaimana
Pendapat para Ingkar As-Sunnah menanggapi tentang hadits sebagai dasar Tasyri’
?
3. Bagaimanakah
Ktirik Orientalis tentang hadits sebagai dasar Tasryi’ ?
Dari uraian rumusan masalah diatas yang menjadikan
tujuan masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
ada atau tidaknya pemalsuan hadits dimasa Rasulullah
2. Mengetahui
pendapat para ingkar sunnah
3. Mengetahui
pendapat para orientalis tentang hadits sebagai dasar tasyri’
BAB II
PEMBAHASAAN
2.1 Pemalsuan Hadits
Tentang pemalsuan Hadits memang merupakan suatu
kenyataan namun telah dianalisis siapa sebenernya pelakunya dan telah diadakan
penaggulangan oleh para ulam dan kaum muslim pada umumnya.
Adapun ikhtilaf tentang penerimaan
Hadits dan Hadits Ahad sebagai dasar tasyri’ dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Jumhur
ulama berpendapat bahwa hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan
landasan amal walaupun bersifat zhan.
b) Ahmad,
Al-Mahasibi, Al-Karabisi, Abu Sulaiman, dan Malik berpendapat bahwa hadits Ahad
bias qath’i dan wajib diamalkan.
c) Kaum
Raflidhah, Al-Qasimi, Ibnu Dawud, dan sebagian kaum Mu’tazilah mengingkari
hadits Ahad sebagai hujjah.
Alasan penolakan hadits Ahad sebagai
hujjah adalah sebagai berikut:
a) Hadits
Ahad itu bersifat zhan bias mengandung kesalahan, maka tidak dapat dijadikan
hujjah. Allah swt berfirman yang artinya: “Janganlah engkau mengikuti apa-apa
yang tidak engkau ketahui”. (QS. Al-Isra’ : 36).
b) Karena
telah sepakat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan landasan dibidang Ushul
dan Aqidah, maka begitu pula dengan furu’
c) Sikap
Nabi SAW yang tidak segera merespon terhadao informasi Dzu al-Yaddin bahwa Nabi
menyudahi shalat Isya dua rakaat. Baru setelah Abu Bakar dan Umar membenarkan
ucapanDzu al-Yaddin, Nabi SAW menyempurnakan shalat dan melakukan Sujud Sahwi.
d) Sahabat
menolak pemberitaan seseorang, seperti Abu Bakar menolakinformasi mughirah
tentang warisan nenek moyang dari cucu.
‘umar menolak riwayat
Abu Musa tentang isti’dzan dan Aisyah menolak Khabar Ibn ‘Umar tentang
disiksanya mayat karena tangisan keluarganya.
Alasan
dan penjelasan dari ulama yang menerima Hadits Ahad sebagai hujjah adalah
sebagai berikut:
a) Hadits
Ahad walupun bersifat zhan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’
dan menjadi pegangan semenjak masa Nabi SAW dan shahabat, maka dengan ijma’nya
bersifat qath’i.
b) Qias
soal ushul dan furu’ kurang tepat, zhan untuk masalah furu’ bias diterima
mengingat kasus fatwa dan kesaksian.
c) Nabi
SAW menangguhkan penyempurnaan shalat isya karena agu, setelah Abu Bakar dan
Umar memberi tahu, baru Nabi SAW berbuat.
d) Kasus
tersebut bukan berarti Abu Bakar dan Aisyah menolak berita perorangan, namun
untuk ikhtiyath dan mencari landasan yang lebih kokoh.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa para
shahabat dan tabi’in menerima hadits Ahad dan mengamalkannya dan banyak hukum
disandarkan kepada hadits-hadits Ahad. Jika ada suatu ketika shahabat yang
tidak menerima pemberitahuan perorangan hal itu adalah karena ada suatu sebab
tertentu.
Para ulama menerangkan tanda-tanda yang
sangat perlu diingat agar kita dapat membedakan antara hadits yang maudu dan
yang bukan, mereka membagi tanda-tanda tersebut kepada dua bagian sebagai
berikut:
a) Tanda
yang diperoleh pada sanad:
Ø Perawi
itu terkenal pendusta dan tidak diriwayatkan hadits tersebut kecuali oleh
dirinya sendiri.
Ø Pengakuan
perawi sendiri.
Ø Kenyataan
sejarah mereka tidak mungkin bertemu.
Ø Keadaan
perawi-perawi sendiri serta pendorong-pendorong yang mendorongnya kepada
pembuatan hadits.
b) Tanda-tanda
pada matan:
Ø Keburukan
susunannya dan keburukan lafadhnya.
Ø Kerusakan
maknanya.
Ø Menyalahi
keterangan Al-Quran yang tegas, keterangan sunnah mutawatir dan qaidah-qaidah
kulliyah.
Ø Menyalahi
hakikat sejarah yang telah dikenal dimasa Nabi SAW.
Ø Sesuai
Hadits dengan mazhab yang dianut oleh rawi, sedang rawi itu pela orang yang
sangat fanatic terhadap mazhabnya.
Ø Menerangkan
urusan yang menurut seharusnya dinukilkan oleh orang ramai.
Ø Menerangkan
suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil atau siksa yang
sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Sebab-sebab
pemalsuan hadits:
a)
Perselisihan Politik dalam soal
khalifah. Partai politik pada masa itu ada yang banyak membuat hadits-hadits
palsu, ada yang sedikit. Yang paling banyak membuat hadits untuk kepentingan
golongan adalah partai Syi’ah dan Rafidlah. Ada 2 metode yang dipakai Syiah
dalam memalsukan hadits yaitu:
b)
Ashabiyah, yakni fanatik kebangsaan,
kekabilahan, kebahasaan, dan keimanan. Mereka yang fanatic kebangsaan Parsi
membuat hadits yang
c)
artinya: “Bahwasanya Allah apabila marah
menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi dan bila Ridla menurunkan wahyu dengan
bahasa Arab.
d)
Zandaqah, yang dimaksud dengan Zandaqah
ialah rasa dendam yang bergelimang dalam hati sanubari, golongan yang tidak
menyukai kebangunan Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka mengusahakan
tipu dayanya dengan berbagai jalan. Dengan menyisipkan hadits Tasyayyu’
(hadits-hadits yang membangkitkan fanatic kepada seseorang), hadits-hadits
TaSAWuf (benci kepada dunia) dan dengan jalan falsafah dan hikmah. Semuanya itu
mereka maksudkan untuk menimbulkan kecederaan dan kerusakan dalam perumahan
Islam.
e)
Keinginan menarik minat para pendengar
dengan jalan kisah-kisah, pelajaran-pelajaran dan hikayat-hikayat yang menarik
dan menakjubkan.
f)
Ar-Targiib wa Tarhib (Anjuran berbuat
baik dan larangan berbuat mungkar ) dari orang sholeh yang bodoh. Contoh : Ibnu
Mahdi bertanya kepada Maisaroh bin Abdi Rabbih pemalsu hadits tentang fadhilah
Al-Qur’an, dia berkata saya memalsukannya untuk mengajak manusia membaca
Al-Qur’an.
g)
Perselisihan faham dalam masalah fiqh
dan masalah kalam. Mereka yang fanatik terhadap madzhab Asy-Syafi’i berkata
yang artinya: “Aku beriman kepada Jibril disisi ka’bah, maka menyaringkan
Bismillahirrahmanirrahim”.
Hukum
atas pemalsuan hadits
Pemalsuan hadits adalah mengada-ngadakan
dan memalsukan hadits atas nama Rasulullah SAW secara sengaja. Para ulama sepakat
bahwa sengaja berdusta atas nama Rasulullah SAW adalah salah satu dosa besar
yang diancam pelakunya dengan neraka karena adanya akibat buruk, bersabda
Rasulullah SAW:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya : “Barangsiapa berdusta atas
saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka” ( Riwayat Bukhari- Muslim)
Al-Imam Muslim meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Artinya : “Barangsiapa yang menceritakan
dari saya satu perkataan yang disangka dusta maka dia adalah salah satu
pendusta.”
Jika ancaman ini bagi yang menduga dusta
bagaimana kalau ia yakin bahwasanya ia dusta. Maka ulama tidak membolehkan
hadits dhaif termasuk palsu kecuali kalau disertai oleh pemberitaan bahwa ia
dhaif agar dijauhi hadits tersebut dan waspada terhadap rawi yang dhaif atau
pemalsu tersebut.
2.2 Ingkar As-Sunnah
Ingkar As-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan
terhadap sunnah Rasul baik sebagian maupun keseluruhan. Mereka membuat
metodelogi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya
sunnah, baik sebagian maupun keseluruhan.[2]
Ingkar As-Sunnah berarti mengingkari
sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas
masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam
kedua. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan
posisinya.
Penyebutan Ingkar As-Sunnah tidak semata-mata
berarti penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap sebagian sunnah pun
termasuk dalam kategori Ingkar As-Sunnah, termasuk di dalamnya penolakan yang
berawal dari sebuah konsep berpikir yang janggal atau metodologi khusus yang
diciptakan sendiri oleh segolongan orang baik masa lalu maupun masa sekarang,
sedangkan konsep tersebut tidaak dikenal dan tidak diakui oleh ulama hadis dan
fiqh.[3]
Ada tiga jenis kelompok Ingkar
As-Sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW. secara
keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadist yang tak disebutkan
dalam Al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya
menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang
atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits Ahad
(tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat
yang arinya
“…Sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (Q.S An-Najm 53 :28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu
saja menurut penafsirah model mereka sendiri.[4]
Sejarah perkembangan
Ingkar As-Sunnah
1. Ingkar
As-Sunnah Klasik
Pada
masa sahabat, seperti dituturkan oleh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, ada sahabat
yang kurang begitu memerhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW., yaitu ketika
sahabat ‘Imran bin Hushain sedang mengajarkan hadits, tiba-tiba ada seorang
yang meminta agar ia tidak usah mengajarkan hadits, tetapi cukup mengajarkan
Al-Qur’an saja. Jawab ‘Imran, “Tahukah anda, seandainya anda da kawan-kawan
anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah anda dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa
shalat dhuhur itu empat rakaat, shalat Ashar empat rakaat, dan shalat Maghrib
tiga rakaat? Apabila anda hanya memakai AL-Quran, darimana anda tahu bahwa
thawaf (mengelilingi Ka’bah) dan Sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali?”
Mendengar
jawaban itu, orang tersebut berkata, “anda telah menyadarkan saya.
Mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan anda.” Akhirnya sebelum wafat orang itu
menjadi ahli fiqh.[5]
Agaknya gejala-gejala ingkar as-sunnah
seperti diatas, masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap
kelompok atau madzhab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari semakin
bertambah. Itulah gejala-gejala Ingkar As-Sunnah yang muncul dikalangan para
sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul pula kelompok yang
menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, disamping ada pula
yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja. Penolakan ingkar as-sunnah tidak
terdapat di negeri-negeri Islam secara keseluruhan, melainkan secara umum
terdapat di Irak. Karena ‘Imran bin Hushain dan Ayyub As-Sakhtiyani tinggal di
Bashrah Irak. Demikian juga orang-orang yang disebutkan oleh Imam Syafi’i
sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Bashrah. Karena itu pada masa itu di
Irak terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya paham ingkar as-sunnah.[6]
Dan itulah gejala-gejala ingkar
as-sunnah yang muncul dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abad
kedua Hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber syariat Islam, di samping ada pula yang menoalak sunnah yang bukan mutawatir saja.[7]
Paham kaum Khawarij yang berpedoman
hanya kepada hukum Allah S.W.T. (Al-Qur’an) itu sebetulnya dapat dipahami
karena keberadaan Al-Sunnah pada waktu itu berbarengan dengan situasi politik
yang panas sehingga banyak orang meragukan keabsahannya kecuali jika perawinya
berasal dari kelompok mereka sendiri. Karena itu kaum Khawarij dengan alasan
politik mengingkari fungsi as-sunnah karena dalam pandangan mereka hanya
Al-Qur’an lah satu-satunya yang dapat dijamin kebenarannya.
Selain kaum Khawarij, golongan Rafidhah
(salah satu aliran dari madzhab Syi’ah) telah sangat menyimpang dari ajaran
Islam karena bukan saja mereka menolak Al-Sunnah tetapi mereka mempunyai
pendapat dan paham yang sangat ekstrim yakni bahwa sebenarnya menurut mereka,
risalah kenabian itu diberikan kepada Sayyidina Ali dan bukan kepada Nabi
Muhammad S.A.W. akan tetapi hal ini Jibril telah salah alamat.
Ada pula sebagian mereka yang mengakui
kerisalahan Nabi Muhammad SAW akan tetapi jabatan khalifah yang diembankan oleh
Abu Bakar itu sebenarnya adalah hak dari Sayyidina Ali. Karenanya mereka
mengkufurkan para sahabat, tak terkecuali Sayyidina Ali juga mereka pandang
telah kafir lantaran ia hanya berdiam diri tidak mau menuntut hak sebagai
khalifah. Dan itu pula sebabnya mereka tidak mau berhujjah dengan Al-Sunnah karena
dalam pandangan mereka, Al-Sunnah itu adalah riwayat orang-orang yang
dinilainya kafir.
Aliran ingkar as-sunnah dapat
digolongkan pada dua kategori yaitu inkar sunnah pada masa klasik dan inkar
sunnah pada masa modern. Pada kedua masa ini memiliki karakteristik yang
berbeda. Inkar sunnah pada masa klasik kebanyakan masih merupakan pendapat
individu dimana hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan
keberadaan sunnah dalam Islam. Setelah mereka diberi tahu tentang urgensi
sunnah, mereka akhirnya menerima. Sementara itu wilayah inkar sunnah klasik
umumnya berada di Iraq, khususnya di Basrah.
2. Ingkar
As-Sunnah Modern
penyebab utama
timbulnya Ingkar As-Sunnahmodern ini adalah akibat pengaruh kolonialisme yang
semakin dahsyat sejak awal 19 M. Di dunia islam, terutama di India setelah
terjadinya pemberontakan melawan kolonial Inggris tahun 1875 M berbagai
usaha-usaha yang dilakukan kolonial untuk pedangkalan ilmu agama dan umum.
Penyimpangan akidah melalui pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka
terhadap teori-teori barat untuk memberikan interpretasi hakikat islam. Seperti
yang dilakukan oleh Ciragh Ali, Mirza Gulam Ahmad Al-Qadliyani dan tokoh-tokoh
lain yang mengingkari hadits-hadits jihad dan perang.
Sedangkan di Malaysia, Kasim Ahmad
dengan tulisannya hadits satu penilaian semula dan di Indonesia diantaranya
Abdurrahman dan Achmad Sutarto dengan diktatnya serta pengikut-pengikutnya
antara lain Nazwar Syamsu (W 1983 di Padang Sumatra Barat), Dalimi Lubis, dan
H. Sanawi Pasar Rumput Jakarta Selatan. Menurut hasil penelitian MUI buku-buku
tersebuut mennyesatkan umat Islam dan akan mengganggu stabilitas nasional, maka
jaksa agung RI dengan surat keputusannya no. Kep-169/J/A/1983 melaranng
beredarnya buku-buku yang ditulis mereka tanggal 30 September 1983.
Ingkar As-Sunnah
pada masa modern mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Ingkar As-Sunnah
pada masa klasik, baik dari sebab-sebab kemunculannya, wilayahnya, bentuknya,
maupun sikap personalnya setelah kepada mereka dijelaskan fungsi dan keberadaan
sunnah tersebut. Kalau pada kelompok ingkar sunah klasik mereka kembali
mengikuti dan mencabut pendapatnya setekah mereka menyadari kekeliruan sunnah dalam Islam yang dijelaskan oleh para
ulama yang setia kepada ajaran Nabi Muhammad SAW., Kelompok Ingkar As-Sunnahpada
masa modern malah sebaliknya, Mereka bertahan pada pendiriannya meskipun telah
diterangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan di antara mereka ada yang
menyebarkan pemikirannya secara diam-diam meskipun penguasa setempat telah
mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.[8]
Ingkar As-Sunnah klasik masih bersifat
perorangan dan tidak menanamkan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharuan,
Ingkar As-Sunnah modern banyak bersifat kelompok yang terorganisasi, dan
tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharuan.
Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa
Ingkar As-Sunnah Modern lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh
(1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain Syeikh Muhammad Abduh adalah orang
yang pertama kali melontarkan gagasan Ingkar As-Sunnah pada masa modern.
Pendapat Azami ini masih diberi catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam
kitabnya Adhwa ‘ala As-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.[9]
Argumentasi Ingkar
As-Sunnah
Ø Argumen
Naqli
Segala sesuatu sudah dijelaskan dal
Al-Quran dan tidak ada yang terlewat (di alfakan) sesuatupun.
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-‘An’am: 38)
Al-Quran
turun sebagai penerang/ penjelasan bagi segala sesuatu secara sempurna.
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri
dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan
Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(An-Nahl: 89).
Beberapa
Hadits Nabi SAW diantaranya:
“Apa yang datang kepadamu dariku, maka
konfirmasikanlah dengan kitabullah, jika sesuai dengan kitabullah maka berarti
akulah yang telah mengatakannya, dan jika ternyata menyalahi ktabullah, maka
hal itu bukanlah aku yang mengatakannya. Dan sesuungguhnya aku (Selalu) sejalan
dengan kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepadaku” (HR.
Bukahari)
Penulisan Sunnah dilarang, seandainnya
Sunnah dijadikan landasan hukum Islam pasti Nabi tidak melarang.
Ø Aqli
(non Naqli)
Cukup banyak juga argumen aqli yang
telah diajukan oleh para pengingkar sunnah, diantaranya adalah sebagai berikut:
Al-quran diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad (melaluai malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang
memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Quran secara langsung, tanpa
bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian, hadits Nabi tidak
diperlukan untuk memahami petunjuk Quran.
Dalam sejarah, umat Islam telah
mengalami kemunduran. Umat Islam nudur karena umat Islam terpecah-pecah.
Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada Hadits Nabi. Jadi
menurut mereka, hadits Nabi merupakan sumber kemunduran uma Islam. Agar umat
Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan Hadits.
Asal mula Hadits Nabi yang dihimpun
dalam kitab-kitab Hadits adalah dongeng-dongeng semata.
Menurut pengingkar sunnah kritik sanad
yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah untuk menentukan keshahihan hadits
dengan alasan sebagai berikut:
Dasar kritik sanad yang dalam ilmu hadis
dikenal dengan ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang membahasa ketercelaan dan
keterpujian para periwayat hadits), baru muncul satu setengah abad setelah Nabi
wafat. Dengan demikian, para periwayat generasi sahabat Nabi, para Tabi’in dan
Tabi’u tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat
Hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama Hadits pada abad ketiga
dan awal abad keempat Hijriah. Dengan konsep ta’dil As-shahabah, para sahabat
nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan Hadits.
Kelompok-kelompok
pengingkar Sunnah
a)
Kelompok-kelompok yang menolak
Hadits-hadits Rasulullah sebagai hujjah secara keseluruhan.
b)
Kelompok yang menolak Hadits-Hadits
Rasulullah yang kandungannnya tidak disebutkan dalam Al-Quran, baik secara
implisit maupun eksplisit.
c)
Kelompok yang hanya menerima
Hadits-Hadits Mutawatir sebagai hujjah dan menolak Hadits-Hadits ahad,
sekalipun hadits ahad itu memenuhi syarat Hadits Shahih.
Bahaya
mengingkari Sunnah
Diantara bahaya mengingkari sunnah
yakni, bagi orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah SAW akan ditimpa
azab yang pedih, dan menjadi sesat. Faham Ingkar As-Sunnah harus dijauhi karena
memiliki kelemahan. Disamping itu, Ingkar As-Sunnahjuga baru eksis 1200 tahun
setelah wafatnya Nabi SAW. Selanjutnya, orang yang mengingkari sunnah selalu
kalah jika berhadapan dengan para ulama Ahlu Sunnah ketika itu. Pada sisi lain Ingkar
As-Sunnahsama sekali tidak memiliki kekayaan intelektual sebagaimana Ahlu
sunnah, banyak diantara tokoh Ingkar As-Sunnah yang hidupnya berakhir dengan
mengenasakan setimpal dengan dosa-dosanya, dan secara historis, tidak ada
seorangpun khalifah dalam sejarah Islam yang berfaham Ingkar As-Sunnah.
2.3 Kritik Orientasi
Kritik” berasal dari bahasa Inggris
“critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas. Secara
terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut
versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan
dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd”
yang diterjemahkan dengan kritik dan
kecaman.
Yang dapat kita pahami dari pengertian
diatas adalah bahwa kritik/ mengkritik adalah upaya untuk
menunjukkan/mendahulukan kesalahan daripada mencari kebenarannya. Dengan
demikian, maka dalam benak kita ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan
su’udzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran
yang adapun tidak tampak.
Sedangkan kata “orientalis” berasal dari
kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang
berarti orang Timur atau Asia.Orientalisme adalah gelombang pemikiran yang
mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, yang dijadikan obyek studi
mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail
Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal
ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama
Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang
kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.
Dari pengertian diatas, dapat diambil
pengertian akan tujuan orientalis. Melalui kritik-kritik yang dilontarkannya,
mereka menyisipkan “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat memporak-porandakan
bangunan Islam apabila tidak segera dijinakkkan.
Orientalisme muncul setelah orang
kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap
bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang
pemikiran).
Dari lingkungan eksternal umat Islam
terdapat problema pandangan negative berupa kritikan. Kritik tentang Hadits
dilakukan dan datang dari orientalis, yakni sarjana-sarjana Barat yang
mengadakan kegiatan dengan mempelajari segala sesuatu mengenai Negeri-negeri
Timur tentang kebudayaan, keagamaan, dan peradaban dari Bangsa di Negeri Timur
tersebuttermasuk didalamnya atau terutama mengenai Islam, pemikiran-pemikiran
Islam dan peradabannya.[10]
a)
Mereka berpendapat bahwa sebagian besar
Hadits adalah buatan orang Islam, bukan sabda Nabi SAW, hadits yang betul-betul
berasal dari Nabi SAW hanya sedikit sekali dan tidak dijadikan hujjah yang
mu’tamad di zaman permulaan Islam. Menurut Ignace Goldzier mengatakan, bahwa
hadits sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan kemasyarakatan
pada abad I dan II Hijriyah.
b)
Mereka berpendapat pula, bahwa hadits
tidak dapat dijadikan dasar Tasyri’, hanya Al-Quran-lah dasar pembianaan hukum
Islam. Hal ini karena Hadits tidak dapat diyakini keberadaannya mengingat
banyaknya perbedaan lafazh dan pertentangan satu sama lain. Mereka mengatakan
bahwa sumber Syari’at Islam hanyalah Al-Qur’an, hadits bukan dasar Tasyri,
sebab Allah tidak memelihara kemurnian. Hadits sebagaiman memelihara Al-Qur’an
buktinya banyak pemalsuan Hadits kalau Hadits juga dasar Tasyri’ maka Hadits
mestinya terpelihara pula.
c)
Mereka menuduh, bahwa untuk kepentingan
golongan dan partai umat Islam memalsukan hadits.seperti yang dilakukan oleh
Khalifah Bani Umayah untuk alasan dari praktek berkhutbah duduk berkhutbah
sebelum shalat hari raya, bahwa itu berdasarkan dari Hadits Nabi SAW dan
sahabat sudah pernah berkhutbah dengan cara duduk.
d)
Mereka mengatakan, bahwa yang menurut
Islam dikatakan adil ternyata tidak benar, sebab terbukti bahwa ada sementara
sahabt tidak adil. sebagai contoh: Abu Hurairah yang sebagai perawi ternyata ia
orang yang humoris suka bersenda gurau dan sering membuat hadits untuk
kepentingan sendiri
e)
Mereka meragukan kebenaran hadits yang
terdapat pada kitab-kitab hadits. Karena masa nabi, hadits tidak ditulis,
begitupula pada masa khulafa al-rasyidin dan baru di tulis pada awal abad II
hijrah. Hal ini menyebabkan orang mudah memalsukan hadits dan mereka juga
menduga pemalsuan hadits sudah terjadi sejak masa Nabi SAW.
f)
Mereka menilai bahwa sistematika tadwin
hadits tidak baik dan tidak memenuhi persaratan ilmiah serta tidak memudahkan
untuk penggunaanya.
g)
Mereka mengatakan bahwa diwan hadits
secara keseluruhan tidak memuaskan, terbukti bahwa ulama Islam juga banyak yang
tidak menerima hadits sebagai hasil tadwin tersebut.
Terhadap kritik-kritik di atas, ulama-ulama Islam
telah memberikan respons yakni dengan menangkis serangan tersebut setelah
mengadakan analisis, penelitian dan pembahasan. Respon tersebut ada yang
dikemukakan secara spontan, ada yang dengan menulis kitab, dan ada pula dengan
bentuk gerakan-gerakan penentang dan penggulangan, baik yang bersufat represif
maupun preventif.
Adapun jawaban terhadap kritik-kritik di
atas adalah sebagai berikut:
a.
Sejak permulaan Islam, hadits adalah dasar syari’at Islam yang menjadi pedoman
pengamalan agama bagi umat Islam dan telah menjadi darah daging umat Islam
sebab selalu dihafal, dimengerti dan diamalkan dengan penuh ketaatan. Kemudian
selanjutnya diajarkan dan disebarkan kepada generasi berikutnya dengan
periwayatan yang berpedoman kepada keshahikan sanad dan kebenaran matan.
Akhirnya, dihimpunlah dalam kitab-kitab hadits penyelenggaraannya menurut
aturan dan adab yang menjamin kemurnian hadits tersebut. Dengan demikina,
hadits bukanlah sejedar natijah dari proses perkembangan agama, politik dan
kemasyarakatan Islam di abad I dan II H. Melainkan ajaran Nabi SAW yang berupa
perkataan, perbuatan dan taqrir yang beliau sunnahkan untuk melengkapi maksud
wahyu illahi (Al-Qur’an)
b.
Hadits mutawatir memfaidahkan, yakni terhadap hadits shahih dan hasan, jumhur
ulama menetapkan sebagai hujjah. Setiap hadits sesudah jelas derajat dan
nilainya, tertera atau dapat dipahami dari diwan-diwan hadits. Dengan demikian
tidak sewajarnya untuk tidak menerima hadits sebagai dasar tasyry’, hadits
berfungsi sebagai interpretasi Al-Quran tentang keumumannya, kemujmalannya,
kemutlakannya, dan kemusykilannya. Hadits tidak bias dipisah dengan Al-Quran
berlaku tetap dalam ajaran Islam.
Ada banyak hikmah yang dapat kita petik
dari kritik orientalis –khususnya kritik Goldziher dan Joseph Schacht –
terhadap hadits ataupun ilmu hadits. Namun yang paling penting, adalah dengan
adanya kritik tersebut dapat menggugah kembali pikiran umat Islam untuk tidak
menerima hadits begitu saja tanpa adanya penelusuran kembali (reserve).
Kritik orientalis tersebut didasarkan
kepada hasil penelitiannya terhadap hadits dan ilmu hadits, dengan segala
aspeknya -kekurangan dan kelebihannya- kemudian dituangkan dalam bentuk yang argumentatif
dan rasional –setidaknya menurut mereka- maka secara implisit juga merangsang
dan menantang umat Islam untuk mematahkan argumentasi mereka berdasarkan
data-data yang sebenarnya. Dan data-data itu diperoleh melalui penelitian juga.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada
kenyataannya tidak semua orang mampu menerima hadits sebagai dasar syaria’at
Islam, bahkan ada sebagian kecil yang menolak hadits sebagai dasar tasyri’. Hal
ini bukan hanya datang dari ektern umat Islam tetapi dari intern umat Islam
sendiri. Pada abad ke II Hijriyah muncul faham yang menyimpang dari garis
khithab yang telah dilalui oleh para shahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak
mau menerima hadits sebagai hujjah dalam menetapkan hukum atau bila tidak
dibantu oleh Al-Quran dan ada sebagian golongan yang tidak menerima hadits
Ahad.
Jika
sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan
penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan
bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di
dalam al-Qur'an.
Problematika tersebut telah dibahas
secara seksama oleh para ulama dari berbagai keahlian; tafsir, hadits, ilmu
kalam, fiqh dan tasawuf, terutama menggunakan dalil yang jelas dari Al-Quran
dan Hadits, logika yang kuat dan fakta-fakta historis sejak zaman Nabi SAW.
3.2 Saran
Demikianlah
pembahasan tentang Problematika Hadits yang bisa kami bahas dalam makalah ini,
tentunya juga dalam pembuatan makalah ini tidak akan terlepas dari kesalahan
dan kekuarangan yang kami buat baik yang sengaja atau tidak sengaja. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca sekalian untuk memberikan
kritik dan sarannya agar makalah ini bias sempurna
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad,
Muhammad. 2004. Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia
2. Ash
Shidiqi, Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits. Jakarta : Bulan
Bintang
3. Faturrahman.
Ikhtisar Mukhthalahul Hadits. Bandung : Al-Ma’arif
4. Soetari,
Endang. 2004. Ulumul Hadits dalam Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Pustaka
Press
5. Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. 2010. “Sejarah & Pengantar ILMU HADITS”.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
6. Suryadi,
Agus. 2009. “Ulumul Hadis”. Bandung: Pustaka Setia.
7. Herdi,
Asep. 2010. “Ilmu Hadits”. Bandung: Insan Mandiri.
[1]
Pembahasan tentang adanya sebagian umat Islam yang menolak Hadits Nabi sebagai
Sumber Hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, secara gamblang dijelaskan pada buku
lain dari penulis yang sama: Problematika
Hadits, mengkaji Paradigma Periwayatan, Bandung: Gunung Djati Press, Cet.I,
10 Februari 1997. Peny.
[2]Daud
Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman : Dari Snouck Hugronje hingga Harun Nasution.
Bandung : syaamil. 2006. hal. vi
[3]Ibid.
hal. v
[4] ibid
[5]ibid
[6]Azami.
op.cit. hal. 42
[7]ibid
[8]Ibid.
hal.46.
[9]Azami.
Op.cit. hal.46.
[10]Ahmad
Amin, Fajr al-Islam, terjemahan Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968,
hal.267-289. Lihat pula T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy dalam: Problematika.., Op.
Cit., hal.12-19.
Komentar
Posting Komentar